11.11.08

LUPA TIDUR



Akhir-akhir ini intens ketemu dengan orang-orang di pasar, di warung dan tentunya temen kantor sendiri yang saban hari ktemu muka mereka. Inilah ungkapan, selorohan, gumam-an, umpatan dan celatukan (celatu=meminjam istilah mas Butet Kertaredjasa) yang walaupun sederhana namun inspiratif, yang bagi sebagian orang menganggapnya tidak penting. Lupa tidur (lali turu), ono dino ono upo (ada kerja ada nasi), jarang pulang, lali dalan (lupa jalan), edan tenan (gila bener) atau apapun yang sempat terekam dalam memori dan sketch book saya. Ada yang bernada positif, optimis dan menggelitik dari sekian ungkapan, syukur tidak banyak yang bernada negatif.

Positif atau negatif tergantung kita yang menginterpretasikannya.
Ungkapan, umpatan dan gumam-an bernada optimis ini terekam setelah ngelihat kenyataan pada tiap diri orang yang saya jumpai, siapapun dia (terutama pekerja pasar) ternyata punya kegigihan untuk mewujudkan mimpi, bahkan terkadang jauh diluar jangkauan mimpinya, atau sebaliknya karena keadaan yang menghimpit, sehingga tak sempat bermimpi (tidak ngoyo bagi mereka adalah cara aman untuk mensyukuri hidup), yang penting periuk baginya dapur harus tetap berdiri tegak.

Dari ungkapan, umpatan,gumam-an yang terucap maupun tak terucap, bernada serius atau sekedar selorohan tersebut, terkadang tidak kita sadari bahwa mereka (para pekerja) adalah orang hebat, punya nyali, tetap semangat untuk menjalani hari walaupun terasa berat baginya, kebutuhan-demi kebutuhan menghimpitnya. Ketemu dengan para pedagang-pedagang yang nota bene UKM yang tanpa harus membaca bukunya Hermawan Kertajaya pun mereka sadar bahwa sudah waktunya untuk mencetak peluang, merebut pasar bahkan mereka telah sadar akan arti pentingya membangun Brand, setidaknya menaikkan citra, tentu dengan bahasa mereka.

Ada cerita juga seorang temen di kantor yang selalu gundah tentang masa depannya, pengen segera nikah maksudnya sehingga harus lebih giat lagi bekerja. Pun saya sendiri yang harus tetap semangat untuk menjaga bara api hidup, walau harus lembur 'biar makmur' tentunya.

Ada cerita temen-temen yang magang yang kadang berseloroh 'lupa tidur' karena mereka harus lembur, bikin konsep atau sekedar menyiapkan materi presentasi, atau ada temen yang jarang pulang karena dikejar deatline.

Saya yakin hal lucu ini sering bahkan jamak kita temui di keseharian kita dari tukang jamu, tukang sapu, tukang becak, eksekutif berdasi hingga para filantropi (nah yang terakhir ini yang saya kepingin).

Cerita-cerita kecil tersebut saya coba mengapresiasinya terangkai ala grafis jalanan layaknya grafis yang sering kita lihat di bak-bak truk atau stiker-stiker bonus TTS, untuk menyemangati diri, temen-temen dikantor atau bahkan siapa saja yang tetep harus semangat menghadapi hari, tetep semangat menatap esok, tetep semangat menggapai mimpi. Terima kasih buat orang-orang yang telah menginspirasi.



1.11.08

SELF-PORTRAIT



Visual Art Exhibition
SELF-PORTRAIT
Famous Living Artists of Indonesia

I have a face, but a face is not what I am.

(Julian Bell, Five Hundred Self-Portraits, Phaidon, New York, 2000)

Setiap potret adalah duel—antara perwujudan dan peleburan diri; antara obsesi mengintip jiwa yang telanjang dan naluri untuk menyembunyikannya.

(Yudhi Soejoatmodjo, “Kolam Narsisus Poriaman”, Tempo, 27 Februari 1993)


Hampir dipastikan, dalam sejarah hidup dan karir perupa, ia pernah menggambar dan memotret dirinya. Potret diri (atau “diri” yang lain) berbentuk foto, patung, lukisan, atau seni lainnya menyimpan segudang masalah. Hidup di antara problem mimetik, kesenangan, seni pesanan, atau pada waktu yang sama dibuat untuk sekadar mengejar nilai estetik. Problem tersebut biasanya lahir ketika persilangan antara kesempatan dan konfrontasi diri seniman, antara sifat romantisme dan kecenderungan sentimentalisme (lebih kasar mungkin disebut Narsisme) berbaur.
Potret di sini bukanlah sebuah gambar mengenai aktivitas kehidupan. Potret lebih banyak bergerak pada tataran sebuah catatan peringatan, buah pikir serta akhirnya berfungsi sebagai “korban” atas dirinya sendiri. Sang seniman lebih banyak berujar mengenai banyak hal dalam karyanya dengan memakai tubuh, wajah, imaji tentang dirinya sendiri. Ia tidak menggambarkan realitas dengan sebuah citra atau sekumpulan tanda-tanda di luar dirinya, tetapi lebih pada “mendera” diri untuk mencapai situasi yang kadang tampak ekstrem.
Perkara lukisan potret diri, dalam sejarah seni rupa telah berkembang pesat. Seni potret telah muncul sejak era seni Timur Jauh (1500 SM.) dan Mesir Kuno yang hidup selama 4000-an tahun. Terbukti dengan adanya bentuk potret diri pada lukisan dinding piramid, selain pada bentuk-bentuk seni patung lainnya. Kala itu perkembangan potret memang bukan mengejar penampakan volume dan kepersisan wajah, namun hanyalah sekadar simbolisasi dari raja-raja yang mereka hormati. Seniman pada masa ini belum tampak mengekplorasi dirinya sendiri.

Di era Romawi kuno potret diri mulai terasa naturalistik, setengah bervolume, namun masih nampak dekoratif. Selain pada lukisan, mereka juga mengembangkan pada patung batu, logam dan lilin dengan kecermatan yang lebih berkembang dari masa sebelumnya. Barulah pada abad ke-15 dan 16 di era Kristen kuno di Eropa, potret diri semakin berkembang pada fungsi agama. Di sela penggambaran Maria dan Jesus (atau sering pula disebut ikon) banyak diproduksi untuk gereja, wajah-wajah seniman muncul sebagai bagian dari representasi physiognomy (ilmu firasat) individu, pelukis itu adalah Pisanello dan van Eyck. Pisanello mengembangkan potret dirinya sebagai profil pada medali (logam), sedang van Eyck melukis dirinya sebagai orang lain pada karya Giovanni Arnolfini and his Wife.
Di era Renaissans, potret diri berkembang sebagai bentuk seni pesanan sangat kuat. Para patron, penguasa, pemimpin gereja menjadi pemesan yang sangat dihargai oleh seniman. Ukuran dan gaya lukisannya tampak sedemikian menarik, berkembang lebih bervolume, realistik, dan cenderung dilebih-lebihkan sekaligus romantis: yang jelek nampak cantik, yang cacat dimanipulasi, dan yang biasa dibuat berwibawa. Di masa ini potret diri selain sebagai wujud visual, namun kadang juga dicampuri dengan suasana mitos dan pesan religi. Di sini muncul nama-nama pelukis seperti Veronese, Titian, Tintoretto, Botticelli, dan Velasquez.
Pada era modern seni potret berkembang menjadi aktivitas utama hampir pada setiap seniman. Selain memotret orang lain, sang perupa selalu menyediakan waktu untuk mendokumentasi dirinya pada karya-karyanya sendiri, baik dengan sketsa, lukisan, patung maupun seni grafis. Potret diri seolah telah menjadi satu kajian tersendiri bagi seniman. Ia memiliki fungsi membawa ego seniman-yang merasa telah dikenal oleh publik-sebagai manusia yang patut untuk dilihat, dicatat, sekaligus dihormati.
Tak kurang seperti Rembrandt dengan amat jeli menampilkan perkembangan dirinya sendiri sejak muda hingga tua: berjenggot dan hampir mati. Puluhan potret dirinya lahir sebagai catatan perkembangan seni yang menandakan upaya seniman bahwa sesungguhnya potret diri telah menjadi satu peruntungan dan tanda perjalanan. Paul Cezanne dan van Gogh melukis dengan gaya Impresionismenya, Picasso memunculkan abstraksi potret dirinya dengan gaya kubis, hingga kemunculan seni potret wajah milik Warhol pada pop art yang dibuatnya dengan warna-warna cerah tahun ‘60-an. Di tahun ‘70-an muncul lukisan megapotret hiperrealis milik Chuck Close.
Seni modern Indonesia memunculkan seni potret dengan cerita yang menarik. Raden Saleh memulai dengan kesadaran Romantikisme yang didapatkan dari tempat gaya itu lahir. Ia berhasil mendokumentasi sekian puluh wajah para pesohor Jawa dan beberapa lainnya dengan teknik yang sangat sempurna. Munculnya seni potret Affandi yang berhasil mengeksploitasi dirinya sendiri pada tingkat yang paling ekstrem; menggambar pose telanjang sebagai sarana mengenal dirinya sendiri dengan cara berdiri pada sebuah cermin.
Namun di tangan Basoeki Abdullah seni potret tampil dengan kesadaran mimetik dan kesenangan (pleasure). Dibuat dengan keterampilan yang tinggi dan dalam tempo tak lama. Dari tangannya muncul ratusan karya potret orang lain dan beberapa tentang dirinya sendiri. Bila tangan Affandi menggenggam pisau, tangan Basoeki menghadirkan bunga. Sejak itu seni potret di Indonesia berkembang diantara ribuan ide.
Namun jika melacak berbagai kecenderungan yang lebih umum dalam konteks seni rupa dunia, karya ‘potret diri’ selama ini memiliki kecenderungan:

  1. IDENTITAS: Memperlihatkan isu tentang identitas diri di seniman secara utuh, tanpa dibebani oleh isu dan konteks yang lain atau menjadi catatan dan sejarah pribadi dengan kompleksitas psikologi si seniman. (Rembrant van Rijn melukis dirinya sendiri sebagai catatan wajah di setiap usia, bisa lihat van Gogh)

  2. TESIS & EKSPERIMENTASI: Memperlihatkan kecenderungan eksperimentasi dan kreativitas media atau teknik dalam visualisasi potret diri. Bahkan dapat pula sebagai bagian dari sarana pengajuan tesis baru dalam kreativitas seni. (Gustave Courbet ketika memproklamasikan Realisme, Egon Schiele dengan memanfaatkan fotografi untuk mengeksplorasi lukisan cat airnya, Salvador Dali dengan gaya surealistik, Dubuffet dengan Art Brut, Yoshimasa Morimura dengan gaya objek buah-nya, Yue Ming Jun atau Fang Li Jun dengan karakter kepalanya yang khasnya)

  3. KONTEKS SOSIAL & SEJARAH: Memperlihatkan hubungan antara berbagai hal, situasi dan kondisi yang sedang berlangsung pada saat ini maupun dengan konteks sejarah (masa lalu) peradaban dengan diri si perupa. Dalam hal ini dapat dilihat pula bahwa posisi seniman sebagai makhluk sosial yang berada di tengah-tengah masyarakat. (Leonardo da Vinci pada Monalisa atau Shirin Neshat dalam karya Seeking Martyrdom, 1955)

  4. Kecenderungan yang mengarah pada percampuran ide-ide baru yang mungkin belum tercatat dalam sejarah.


Dalam pameran ini diharapkan perupa melukiskan dirinya sendiri (dalam hal ini ekplorasi wajah sangat dan lebih diharapkan), sesuai dan secara jujur diakui sebagai bagian dari karakter yang dimilikinya saat ini. Adapun perihal media, dibebaskan: lukis, patung, grafis, sesuai dengan kebiasaan dalam berkarya seni. Dalam hal ini kurator akan membaca berbagai peragai yang muncul dalam setiap karya potret diri yang dihasilkan perupa. Sampai sejauh manakah wacana ‘potret diri’ di tangan perupa pada masa kini? Perupa dapat melakukan eksplorasi wacana atau disesuaikan dengan gaya karyanya, atau dapat pula memilih kecenderungan (klasifikasi) yang telah diungkap di atas.
Pameran ini mencoba memetakan ‘peristiwa’ melalui wajah para perupa.


Curated by Mikke Susanto
Logotype & All of Material promotion design by Agung Rudianto
Image taken from artwork of F. Sigit Santoso, Aku Bukan Mesias, 2008

RUMAH TINGGAL DI DEPOK - SLEMAN - YOGYAKARTA


Menghargai ruang, membaca makna, mengisi jiwa.

Sederhana,lapang dan natural adalah hasil akhir yang sengaja ditempuh dalam serangkaian proses perancangan rumah tinggal ini,sehingga mampu memberikan kebebasan berimajinasi dan mengalirkan kehangatan jiwa bagi penghuninya.Rumah tak hanya bisa dipandang sebatas dalam wujud fisik semata tentunya.

Eksplorasi dan idiom-idiom desain serta penekanan budget disikapi melalui penataan ruang dan ekspresi desain sederhana namun mampu memberikan aura dan tampilan visual yang unik, berkarakter tanpa arogansi sebagai sebuah perwujudan apresiasi nilai suasana rumah kampung di Jogja, rumah sebagai wahana untuk bersua, berehat dan bertetirah. Namun ada yang lebih penting yaitu rumah sebagai tempat penanaman nilai-nilai bagi penghuninya.


Bangunan didesain terkesan masif di bagian depan dengan bahasa dingin sebagai sebuah solusi facade muka yang menghadap kearah barat, bidang tampak depan merupakan sebuah lapisan dinding penetrasi panas, sehingga minim bukaan jendela. Kesan dingin tersebut sengaja diperlunak dengan ruang tamu yang sengaja dibuat transparan di bagian depan bangunan dan dibuatkan sebuah pencapaian tidak langsung dengan trap tangga. Kanopi transparan bermateri jajaran besi pipa dan kaca dibagian penutupnya menjadi aksen sekaligus menjadi penekanan seakan menjadi point interest pada bagian muka bangunan yang sebelumnya terkesan introvert.


Tatanan ruang secara dimensional, peletakan dan bentuk lebih ditentukan oleh posisi struktur. Hubungan antar ruang dijalin dengan elemen pembagi ruang yang apa adanya dan dibiarkan lapang. Melalui tatanan bilah kayu,kaca,komposisi bidang solid transparan dan pemanfaatan material natural lainnya dengan pengkondisian arsitektur yang tidak berlebihan diharapkan mampu menyampaikan ekspresi sederhana seutuhnya.

31.10.08

ASRAMA SISWA SHOHWATUL IS'AD MODERN BOARDING SCHOOL DI MAKASSAR




Upaya menghadirkan ruang-ruang interaksi bagi siswa adalah peruntukan utama bangunan berlantai dua ini. Penekanan penataan pada area lobby hall adalah bertujuan untuk membentuk koneksi visual antar bagian ruang baik secara vertikal maupun horisontal pada bangunan selain bersua, bersapa dan kegiatan group maupun komunal lainnya. Strategi dalam upaya penghematan energi menjadi poin utama yang harus diselesaikan dan langkah yang harus diwujudkan sedari awal dalam perancangan kompleks. Flow udara, kualitas cahaya pada setiap kamar dan ruang-ruang pendukungnya dipastikan memadahi sebagai bagian dari proses interaksi dan mengakrapi lingkungan, mengingat view lingkungan dan lansekapnya telah ada dan hadir dengan potensi yang sangat mengagumkan.

9.9.08

CHURCH OF ST MARY OF THE ANGELS





Clarity of ideas creates strong, memorable places

The Church of St Mary of the Angels demonstrates the depth and richness embedded in architecture and urban design, regardless of the physical size. Central to the project is the idea of building acommunity in relation to its surroundings, which infuses the experience of space, light and nature with spiritual and social significance. Although the material palette is muted, the design is never too austere, allowing flexibility for secular or social activities in the central plaza. At the detailed level, the design displays an in-depth understanding of the individual’s needs for inner sanctum. The design draws deeply from early liturgy and traditions, yet proves to be one of the most forward-looking, nuanced expressions of our modern times, context and climate.

“…an excellent design that stands out from the rest. A viewer of the building is immediately captivated by its architectural expression - the linkway as a rhythmic open sided concrete colonnade; the existing cellular building of regular white cubic forms with perforated aluminum sun-screening and overhangs; and the looser, linking forms of planar, rough-textured brown walls that fold and intersect, inspired by the brown fabric of the Franciscan robes. The idea of the building as a community is well thought through and is evident from the connectivity of the central community space to the other sub-communities. All these elements provide spiritual uplift, befitting the character of a church.”


Architects:
Wong Mun Summ and Richard Hassell (Team Leaders),
Esther Soh, Sim Choon Heok, Alina Yeo, Puiphai Khunawat, Punpong Wiwatkul,
Phyllis Chua, Janita Han, Lee Li Leng, Gerry Richardson
WOHA Architects Pte Ltd
Owner: Franciscans, Order of Friars Minor, Custody of St Mary
Civil & Structural Engineer: Adrian Billinghurst
Worley Parsons Pte Ltd
Mechanical & Electrical Engineer: Andrew Tang
AE&T Consultants
Quantity Surveyor: Peter Tan
A. Peter Tan Associates Pte Ltd
Building Contractor: Lim Chap Huat
Soil Build Pte Ltd
Interior Contractor: K H Tan
Shanghai Chong Kee Furniture & Construction Pte Ltd

23.7.08

SETAN ORA DOYAN DEMIT ORA NDULIT - KALA SURA





























Work for Kris & Visual Arts Exhibition "Sacred Without Mystique" (Jogja Gallery)

7.7.08

GRHA ARGA HARSANA - 70% PROGRESS

















Architect team :
M. Subhan MSA., Agung Rudianto

6.7.08

RUANG SHOLAT

Pekerjaan ini dimulai bukan dengan dana ratusan juta hingga milyaran rupiah, pun bukan berada di lokasi yang strategis perkotaan tapi sebaliknya. Berlokasi di daerah pinggir utara Jogja, berada dibelakang rumah belakang bersebelahan dengan kebun Anggrek dengan hamparan rumput di halamannya. Tapi ada hal yang tidak bisa untuk menolaknya ketika proyek ini diajukan kepada kami adalah cerita dan keinginan dibalik si empunya rumah. Keinginan si pemilik rumah untuk memiliki ruang sederhana ketika mereka kembali dari kegiatannya berativitas diluar negeri. Kerinduannya pada keluarga dan kampung halamannya akan terbayar oleh ruang sholat dan ruang dapur yang diingininya, mengingat dua ruang inilah yang telah mengajarkan dan memberikan banyak hal tentang kehidupan kepadanya, kesalehan dan kesuksesannya ditempa oleh bapak ibunya dari kedua ruang ini. Sejauh-jauh perjalanan hidup, tetap bertitik tolak mulih neng omah (=kembali ke rumah) adalah pijakan kami dalam mengerjakan proyek ini. Pulang ke kampung halaman sebagai tradisi kembali ke khitah bermakna pula kembali ke tempat kelahiran. Sekeras-keras perjuangan hidup, tetap berpijak kembali ke asal, tempat ia tinggal pada awal kelahiran. Omah (=rumah) menyediakan kehangatan, kenyamanan hidup dan senantiasa memiliki ruang khusus untuk berkhusyuk diri; saat ia berunjuk diri untuk maju menghadap ke hadirat Ilahi,memanggil ingatan kembali kodrat kemanusiaannya.

Hikmah dari kesederhanaan proyek ini adalah sejauh apapun perjalanan dan perjuangan hidup memerlukan ruang bertumpu dalam keheningan doa. Ruang sholat bermakna sebagai tempat undur diri dari segenap pergulatan hidup keseharian. Dalam kesemarakan hidup keduniawian segala atribut diri dilepas dalam ruang ini untuk memenuhi kebutuhan spiritual. Ruang yang selalu melekat dihati. Cerminan hati di tempat ia tinggal.

21.6.08

8.6.08

NEW MAJESTIC HOTEL SINGAPORE, SINGAPORE






IN THE MIDST OF ART

The project is an excellent example of design collaboration involving the client, consultants and other artists. The design solution displays creativity and fun, with the integration of art and the clever use of small spaces to provide a memorable experience. Light is skillfully used to bring new life to historically dark spaces. Always provocative, the hotel is a talking point for both visitors and Singapore residents alike, and is an icon among boutique hotels.

The New Majestic, located in the heart of Singapore’s Chinatown, is a stimulating brew of local culture, art and design that pries apart the moulds of convention. The hotel features a
dramatic all-white open concept period lobby with vintage Compton fans, the Majestic Restaurant which is a modern reinterpretation of one of old Singapore’s favourite Chinese dining rooms, a dramatic lap pool with glass inserts floating above the restaurant, as well as chic loft-style guestrooms finished in a variety of styles by local designers and artists.


Of the 30 rooms, some feature floor to ceiling mirrors; others feature aquarium-like bathtubs in the middle of the room, whimsical four-poster beds suspended by poles from the ceiling or a garden terrace with an outdoor tub. Each has been transformed into a visual and conceptual experience through site-specific artwork created by 9 of Singapore’s emerging artists. These range from joyful pop art murals to upside-down anamorphic messages that work together with vintage and designer furniture to create a one-of-a-kind fantastical space.

Owner/creator Loh Lik Peng has also engaged five of Singapore’s most prominent creative talents drawn from the fields of interior and graphic design, fashion and film production to personalize the five signature suites. The results are spaces ranging from cement-clad serenity to an outrageous party-den in fuchsia and turquoise.

With all its quirkiness, the New Majestic Hotel is a tasteful connection of heritage chic and modern design that brings out Singapore’s best – both old and new.

Interior Designer : Colin Seah (Ministry of Design)
Architect : Tai Lee Siang (DP Architects)
Branding : Shaun Martin (Mind Wasabi Pte Ltd)
Art Consultant : Claudia Cellini (Asian Art Options)
Client : Loh Lik Peng (KMC Holdings Pte Ltd)

Image courtesy by : New Majestic Hotel

3.6.08

MET ULANG TAHUN ANAKKU - HAPPY BIRTHDAY MY SUNSHINE



Met Ulang Tahun Nak... Semoga di ulang tahun mu yang kedua ini membawa keberkahan bagi semua...panjang umurnya-panjang umurnya serta mulia dan bahagia. Semoga Chacha menjadi anak yang sholehah dan patuh kepada kedua orang tua mama dan papa, di beri kebahagiaan lahir bathin di dunia dan di akhirat kelak. Amiiinnn…

My Zafira. 2 Juni 2008

27.5.08

REDESIGN COVER - SAMSARA


Banyak sekali keajaiban-keajaiban yang telah terjadi dalam kehidupan kita yang sepertinya terjadi begitu saja dan pada tempat dan waktu yang kita tidak pernah tahu. Terlalu banyak hal yang membatasi kita untuk melakukan banyak hal yang lain menjadi terhenti. Tanpa kita sadari kita hanya berdiam diri dan telah menyia-nyiakan momen-momen tersebut. Kumpulan tulisan yang terangkum dalam Samsara ini merupakan esensi manusia dalam trilogi kehidupan, bumi dan cinta. Sebagian besar tulisan menampilkan figur-figur dan hal-hal yang nyata dan dekat dengan kehidupan kita, dan penulis sendiri merupakan bagian dari semua itu. Bahwa kita yang mendiami bumi ini hanyalah esensi hidup yang sama dan berasal dari pencipta yang sama. Bahwa dengan pemahaman akan cinta yang lebih manusiawi, kita akan lebih bisa memaknai momen-momen kehidupan yang terjadi dengan lebih lebih bijak. Bahwa bumi dan kita adalah sama. Dan semua manusia adalah individu-individu yang sama dan memiliki potensi menjadi apapun yang mereka mampu lakukan, dengan cara mereka sendiri, walau pada kenyataannya akhirnya kesempatan yang didapat berbeda. Tetap, semua dinilai dari kualitas hidup bukan kuantitas.

Samsara (bahasa sansekerta: siklus kelahiran) merupakan sebuah kesimpulan hakikat keberadaan kita di bumi. Kenapa kita lahir dan untuk apa? Akan menjadi siapa kita? Pencipta telah membuatkan masing-masing dari kita sebuah buku kehidupan dan tugas kita untuk menulisinya dan menentukan hasil akhirnya! Tak ada yang sia-sia walau kecil.

Design cover kumpulan catatan dari putra Bali Putu Pande Setiawan ini adalah lebih kepada redesign dari edisi sebelumnya yang telah launch pada awal Februari 2008 yang lalu, namun masih terbatas publik Bali dan Bandung, nah untuk cetakan selanjutnya tentunya akan di launch ke publik yang lebih luas. Edisi ini merupakan edisi popular dari jilid I trilogi yang bakal di publish di tahun ini juga, tentunya dengan format yang lebih elegance dan tentunya dengan ilustrasi rupa hasil besutan dari para artist ternama pada tiap lembar halamannya, kita tunggu.

Penulis: Pande Putu Setiawan
Cover by : Agung Rudianto
Model : Rere

10.5.08

SETELAH 20 MEI - 100 TAHUN KEBANGKITAN NASIONAL






















































Pameran Seni Visual 100 tahun Kebangkitan Nasional
Brand Image, Cover & Catalogue by : Agung Rudianto
Artwork diolah dari Karya Y. Indra Wahyu, Asasi Per@ Mudah Pecah, 2008

30.4.08

SEMAR NGGAMBAR SEMAR - SUJIWO TEJO

Sebagai seniman lukis, ia tergolong baru. Dulu (saat masih bekerja di harian Kompas) Jiwo merasa bahwa seorang pelukis adalah individu yang kering dan sangat statis. Jiwo membandingkannya dengan dunia seni wayang dan seni pertunjukan lainnya yang digelutinya, cenderung dinamis dan penuh pergolakan pemikiran antar person yang terkait di dalamnya. Oleh sebab itu ia terkadang tak bergairah ketemu atau pada saat ditugaskan meliput seorang pelukis. Namun kenyataan ini berbalik. Sejak tahun 2005 ia mulai membuat sketsa dan melukis di atas kanvas, sembari tetap berkreasi sebagai seniman pertunjukan: seni dalang, teater, film, animasi. Semasa ini ia mencoba beragam teknik dan gaya, termasuk membuat seni potret. Sampai saat ini pun ia telah banyak menghasilkan potret diri orang-orang maupun pejabat terkenal di negeri ini. Sejak Agustus 2007 ketertarikannya pada sosok Semar dimantapkan kembali dalam lukisan. Sejak itu pulalah ia merasa bahwa seni lukis menjadi teman akrabnya. Ia juga merasakan bahwa salah satu keunggulan seni lukis adalah sebagai media yang sangat menerima respek individual sekaligus dinamis. Pendek kata, Jiwo kini merasa bahwa seni lukis bukanlah lahan kering dan statis. Buktinya, hampir setiap malam ia melakukan ‘tapa kreatif’ dengan mengores warna di atas kanvas.

Pameran Semar Nggambar Semar adalah kelanjutan dari proyek pameran tunggalnya di Jakarta (bertajuk Hitam Putih Semar Mesem, 2007) dan Surabaya (bertajuk Super Semar Mesem, 2008). Diambilnya Semar sebagai tokoh memang tak lepas dari pergumulannya dengan wayang sejak kecil. Dalam pameran-pameran tunggalnya tersebut, terutama pada Semar Nggambar Semar kali ini, Jiwo ingin meletakkan dasar bahwa Semar bukanlah semata-mata ‘kata benda’ berupa manusia atau sosok dengan kejelasan rupa. Dalam pameran ini ia juga meletakkan persepsi Semar juga sebagai ‘sesuatu yang lain’, bisa jadi Semar adalah sebuah sistem (lihat karya Pangeling-eling Semar to Pamong Nagari & Galaksi Semar Sakti), pola maupun kode-kode alam (Semar Global Warming, Semar Moksa, Semar Gulungan) sekaligus mungkin sebagai sebuah tafsir bebas tak ternamakan. Esensi bahwa Semar adalah sosok yang tak-terpersonifikasikan dan sesuatu yang “samar” adalah konsep utama dalam pameran-pamerannya. Oleh sebab itu, selain gambar-gambarnya berujud sosok Semar yang jelas, maka muncul juga karya yang tak tergambarkan sebagai sosok.

Kontinuitas kreatif dalam berkesenian membuatnya ia merasa dekat dengan sosok Semar. Intensi yang sedemikian dekat, luruh dalam segala aspek, dan bergejolak bersama menjadikan Semar adalah dirinya dan dirinya adalah penampakan Semar. Pengenalan dan penjiwaannya atas tokoh Semar menginspirasi hidupnya. “Semar itu seakan berada di beragam dimensi, ia bisa sembahyang di segala waktu dan ruang,” tutur Jiwo. Inilah yang menyebakan Jiwo ingin juga mempertautkan pola dan peran baru bagi dirinya sendiri, sosoknya berdiri sebagai Semar.

Maka lahirlah sejumlah karya dalam pameran ini yang berhasil mengarungi jiwa Semar, sang guru Ramawijaya dan para Pandawa.

Source : Petikan Pengantar Kuratorial by Mikke Susanto
Icon & Brand Image by : Agung Rudianto
Artwork : Semar Moksa #2, Sujiwo Tejo 2008

PERGELARAN FOTO, FILM DOKUMENTER & BENDA KENANGAN FATMAWATI SUKARNO


















Logo by Panitia 85 Tahun Fatmawati Sukarno
Motif & Pattern by : Agung Rudianto

24.4.08

BALI ART NOW


SENI PULAU DEWATA DI BUMI MATARAM UNTUK INDONESIA

Pameran seni visual Bali Art Now: Hibridity’ kali ini merupakan suatu persembahan gelaran seni visual yang langka. Para perupa kelahiran pulau Dewata, bagaimanapun juga telah memiliki daya aura seni budaya yang kental , warisan dari para leluhurnya. Bagi mereka seni budaya adalah persembahan terbaik diri pribadi bagi Tuhan YME. Dalam perjalanannya mereka menimba ilmu di berbagai tempat, baik di Jogja maupun di Bali. Perpaduan antara jiwa seni asli dan proses ‘belajar’ di berbagai tempat inilah yang melahirkan senirupa kontemporer penuh daya pikat yang sangat khas dan menarik.

Source : Dipetik dari Sambutan Direktur Eksekutif Jogja Gallery untuk Pameran Bali Art Now : Hibridity
Brand Image by : Agung Rudianto
Artwork by : I Made Gede Putra, Pohon Masa Depan, 2008

13.4.08

SIXTY HOTEL - FASHION HOTEL




Sixty Hotel dibangun di Riccione, Italy, merupakan fashion hotel yang dirancang dan diperuntukkan bagi anda yang muda, beda dan tentunya modern. Hotel ini merupakan pengembangan dari eksistensi Miss Sixty "denim fashionistas". Interior ruang, pada tiap dindingnya dibesut dengan tampilan ilustrasi oleh 30 contemporary artist yang menjadikan unik pada setiap ruangnya dengan kepiawaiannya menampilkan karya artworknya. Sederetan artist ternama diantaranya T-Young Chung, Jan Christensen, Jon Burgerman, Petar Stanovic, Stephanie Nava, Ingrid Mourreau, Lina Jabbour, Fabrizio Rivola, Elena Nemkova, Luca Tresvisani turut menyumbangkan aura untuk interior hotel ber lantai 4 ini.

Ehm...sebenarnya banyak grafitti artist dari Indonesia yang tak kalah piawainya, kita tunggu aja investor yang mo bikin hotel segila miss sixty di Indonesia. Ada yang mo tanam saham ?

All Image Courtesy by : Sixty Hotel

31.3.08

MARIANA ULFAH WEDDING



CELEBRATIONS OF LOVE

Pertemuan warna dan penataan interior bukan sekedar tontonan yang menyegarkan mata, tetapi juga memerlukan pemikiran yang tepat untuk melakukannya. Memadu-padankan tatanan sebuah dekorasi dengan segenap complimentarynya menjadi menarik dan inspiratif adalah tantangan sekaligus kepuasan tersendiri.

Desain guidelines acara pernikahan ini mengacu pada
workshop Trend Forecast 2008 untuk Desain Produk dan Fashion baik yang di Jakarta maupun kota besar dunia lainnya, bahwa warna ungu tua yang terinspirasi kota modern di malam hari mewakili nilai optimisme plus hijau yang terinspirasi dari hutan-hutan di Asia sebagai tren. Sedangkan, inspirasi lain yang datang dari India , Moroko maupun negara Asia Timur lainnya, yaitu motif bunga, detail dan simbol-simbol yang didominasi warna perak, abu-abu, emas, cokelat, kuning, dan hijau.

Atas dasar itulah yang menguatkan saya bahwa formulasi kombinasi warna yang tepat dapat menghasilkan kemampuan warna untuk berbicara lebih dalam. Warna ungu dan hijau menjadi pilihan disamping warna-warna pendamping lainnya seperti perak, emas, merah tua dan coklat kemerahan. Warna ungu dimunculkan untuk memberikan kesan magis dan memiliki soul searching quality yang kuat sehingga dapat membawa ketenangan di hati bagi setiap tamu dan kolega yang hadir.



















































Art Direction & Design : Agung Rudianto
Location : Ballroom Hyatt Regency Yogyakarta