29.11.07

LEGENDA PAK SAKERA : SIMBOL PERLAWANAN RAKYAT JELATA


MENELUSURI SEJARAH CAROK & CELURIT


Carok dan celurit laksana dua sisi mata uang. Satu sama lain tak bisa dipisahkan. Hal ini muncul di kalangan orang-orang Madura sejak zaman penjajahan Belanda abad 18 M. Carok merupakan simbol kesatria dalam memperjuangkan harga diri (kehormatan).


PADA zaman Cakraningrat, Joko Tole dan Panembahan Semolo di Madura, tidak mengenal budaya tersebut. Budaya yang ada waktu itu adalah membunuh orang secara kesatria dengan menggunakan pedang atau keris. Senjata celurit mulai muncul pada zaman legenda Pak Sakera. Mandor tebu dari Pasuruan ini hampir tak pernah meninggalkan celurit setiap pergi ke kebun untuk mengawasi para pekerja.

Celurit bagi Sakera merupakan simbol perlawanan rakyat jelata. Lantas apa hubungannya dengan carok? Carok dalam bahasa Kawi kuno artinya perkelahian. Biasanya melibatkan dua orang atau dua keluarga besar. Bahkan antarpenduduk sebuah desa di Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan. Pemicu dari carok ini berupa perebutan kedudukan di keraton, perselingkuhan, rebutan tanah, bisa juga dendam turun-temurun selama bertahun-tahun.Pada abad ke-12 M, zaman kerajaan Madura saat dipimpin Prabu Cakraningrat dan abad 14 di bawah pemerintahan Joko Tole, istilah carok belum dikenal. Bahkan pada masa pemerintahan Penembahan Semolo, putra dari Bindara Saud putra Sunan Kudus di abad ke-17 M tidak ada istilah carok.

Munculnya budaya carok di pulau Madura bermula pada zaman penjajahan Belanda, yaitu pada abad ke-18 M. Setelah Pak Sakerah tertangkap dan dihukum gantung di Pasuruan, Jawa Timur, orang-orang bawah mulai berani melakukan perlawanan pada penindas. Senjatanya adalah celurit. Saat itulah timbul keberanian melakukan perlawanan.Namun, pada masa itu mereka tidak menyadari, kalau dihasut oleh Belanda. Mereka diadu dengan golongan keluarga Blater (jagoan) yang menjadi kaki tangan penjajah Belanda, yang juga sesama bangsa. Karena provokasi Belanda itulah, golongan blater yang seringkali melakukan carok pada masa itu. Pada saat carok mereka tidak menggunakan senjata pedang atau keris sebagaimana yang dilakukan masyarakat Madura zaman dahulu, akan tetapi menggunakan celurit sebagai senjata andalannya.Senjata celurit ini sengaja diberikan Belanda kepada kaum blater dengan tujuan merusak citra Pak Sakera sebagai pemilik sah senjata tersebut. Karena beliau adalah seorang pemberontak dari kalangan santri dan seorang muslim yang taat menjalankan agama Islam.

Celurit digunakan Sakera sebagai simbol perlawanan rakyat jelata terhadap penjajah Belanda. Sedangkan bagi Belanda, celurit disimbolkan sebagai senjata para jagoan dan penjahat. Upaya Belanda tersebut rupanya berhasil merasuki sebagian masyarakat Madura dan menjadi filsafat hidupnya. Bahwa kalau ada persoalan, perselingkuhan, perebutan tanah, dan sebagainya selalu menggunakan kebijakan dengan jalan carok. Alasannya adalah demi menjunjung harga diri. Istilahnya, daripada putih mata lebih baik putih tulang. Artinya, lebih baik mati berkalang tanah daripada menanggung malu.Tidak heran jika terjadi persoalan perselingkuhan dan perebutan tanah di Madura maupun pada keturunan orang Madura di Jawa dan Kalimantan selalu diselesaikan dengan jalan carok perorangan maupun secara massal. Senjata yang digunakan selalu celurit. Begitu pula saat melakukan aksi kejahatan, juga menggunakan celurit.Kondisi semacam itu akhirnya, masyarakat Jawa, Kalimantan, Sumatra, Irian Jaya, Sulawesi mengecap orang Madura suka carok, kasar, sok jagoan, bersuara keras, suka cerai, tidak tahu sopan santun, dan kalau membunuh orang menggunakan celurit. Padahal sebenarnya tidak semua masyarakat Madura demikian.

Masyarakat Madura yang memiliki sikap halus, tahu sopan santun, berkata lembut, tidak suka bercerai, tidak suka bertengkar, tanpa menggunakan senjata celurit, dan sebagainya adalah dari kalangan masyarakat santri. Mereka ini keturunan orang-orang yang zaman dahulu bertujuan melawan penjajah Belanda.

Setelah sekian tahun penjajah Belanda meninggalkan pulau Madura, budaya carok dan menggunakan celurit untuk menghabisi lawannya masih tetap ada, baik itu di Bangkalan, Sampang, maupun Pamekasan. Mereka mengira budaya tersebut hasil ciptaan leluhurnya, tidak menyadari bila hasil rekayasa penjajah Belanda.


Source : Tabloid Posmo

MEGA MENDUNG















































Sejatinya di seluruh wilayah Jawa memiliki kekayaan budaya batik yang khas. tak kalah dengan Solo, Yogya, dan Pekalongan, seni batik daerah Cirebon juga tidak kalah dibanding kota-kota tersebut. Yang nyangkut dihati saya hingga saat ini adalah Motif Mega Mendung atau sering juga orang menyebutnya Awan-awanan. Pada motif ini nampak kental nuansa oriental cinanya.

Tak kalah penting dari corak dan warnanya adalah perlambang maupun nilai yang dimunculkannya bahwa Motif mega mendung melambangkan pembawa hujan yang di nanti-natikan sebagai pembawa kesuburan, dan pemberi kehidupan. Motif ini didominasi dengan warna biru, mulai biru muda hingga biru tua. Warna biru tua menggambarkan awan gelap yang mengandung air hujan, pemberi penghidupan, sedangkan warna biru muda melambangkan semakin cerahnya kehidupan.

Jika dirunut menurut sejarahnya, di daerah cirebon terdapat pelabuhan yang ramai disinggahi berbagai pendatang dari dalam maupun luar negri. Salah satu pendatang yang cukup berpengaruh adalah pendatang dari Cina yang membawa kepercayaan dan seni dari negerinya.
Dalam Sejarah diterangkan bahwa Sunan Gunung Jati yang mengembangkan ajaran Islam di daerah Cirebon menikah dengan seorang putri Cina Bernama Ong TIe. Istri beliau ini sangat menaruh perhatian pada bidang seni, khususnya keramik. Motif-motif pada keramik yang dibawa dari negeri cina ini akhirnya mempengaruhi motif-motif batik hingga terjadi perpaduan antara kebudayaan Cirebon-Cina.

EKSOTISME DAYAK


26.11.07

DEBUS



Debus, suatu kesenian yang mempertunjukan kemampuan manusia yang luar biasa, kebal senjata tajam, kebal api, minum air keras, memasukan benda kedalam kelapa utuh, menggoreng telur di kepala dan lain-lain. Debus lebih dikenal sebagai kesenian asli masyarakat Banten, yang diperkirakan berkembang sejak abad ke 13. Namun, pernahkah orang bertanya-tanya darimana sebenarnya asal debus tersebut? Menurut catatan sejarah, Debus itu sendiri sebenarnya ada hubungannya dengan tarikat Rifaiah. Tarikat ini dibawa oleh Nurrudin Ar-raniry ke Aceh pada abad 16. Tarikat ini ketika melakukan ketika sedang dalam kondisi epiphany (kegembiraan yang tak terhingga karena "bertatap muka" dengan Tuhan), mereka kerap menghantamkam berbagai benda tajam ke tubuh mereka. Filosofi sederhana yang bisa kita tangkap adalah "lau haula walla Quwata ilabillahil 'aliyyil adhim" atau tiada daya upaya melainkan karena Allah semata. Jadi kalau Allah tidak mengijinkan pisau, golok, parang atau peluru sekalipun melukai mereka, maka mereka tak akan terluka. Pada kelanjutannya, tarikat ini sampai ke daerah Minang dan di Minang pun dikenal istilah Dabuih.

KERALA

KERALA TOURISM BRANDING
God's Own Country

Inilah brand experience dari Kerala, kota setingkat propinsi bagian kecil dari India yang memiliki pesona tersendiri, gaungnyapun memang kalah jika dibandingkan dengan "Incredible India" yang banyak orang lebih mengenalnya. Keunikan dan kekhasan Kerala terletak pada arah eco tourism. Konsep branding yang terstruktur dibumbui dengan ide kreatif yang matang dikemas secara profesional!. Kerala the one of ten paradises of the world - National Geograpic Traveler menyebutnya. Pantas jika disejajarkan dengan brand lainya di India dalam label SuperBrand India.
Dan inilah yang membuat saya semakin resah akan tourism branding kita. Hik...hiks...


After scouting the whole world, John and Nicola chose heaven.

Kerala wore a beautiful blue sky with cirrus clouds for the wedding of John and Nicola. Birds sang. The wind stayed faithfully with the hundred guests dressed in traditional Kerala attire, who flew in from Europe, New Zealand, South Africa and the United States. At the pier, a special honeymoon houseboat bobbed. Strains of the nadaswaram filled the air. The priest chanted the sacred prayers. As the music reached a gentle crescendo, John tied the thali around Nicola’s neck. They circled the sacred fire thrice. They exchanged rings. And were then pronounced husband and wife. As John and Nicola cruised into a magnificent sunset from Bolgatty Island, they fulfilled their long cherished dream – to get married in the most beautiful place on earth. All that remained was to live happily ever after.

For Serefa, it was like prayer. She surrendered completely and was cured.

Serefa closed her eyes as Vijaya massaged the warm golden oil into her back in slow, rhythmic movements. Around her, flowers danced. The smell of the oil and the ethereal fragrance of the incense were soothing. This was the last day of the fourteen-day ayurvedic holiday. Fourteen delightful days of rejuvenating regimens, medicated baths and herbal diets. Fourteen days that wiped away a five-year-old backache. Put the confidence back in her stride. The dance back in her limbs. Youth back into her life. And a smile back on her lips. As Serefa packed her bags she knew that Kerala had become an integral part of her life, where she would return year after year to revitalize her body, mind and soul.

Nine years ago, Corinne discovered true love while on holiday.
Today, her home is where her heart is.

Corinne first saw Krishna on a moonlit night in a temple ground. His eyes, his lips, his demeanour, his attire, everything mesmerized her. She spent an entire evening gazing at him. And somewhere during those magical hours while he engaged in a battle of wits with Arjuna, she fell in love. And a passionate Corinne renounced the world to learn the dance drama called Kathakali Nine years later, she teaches Kathakali to students from across the world. And somewhere in the back of her mind, she knows that she’ll never be able to leave this land where she first met her Krishna.


On a warm summer afternoon, 9,000 miles away from home,
Dianne stumbled upon the Goddess within..

As Dianne stood with one million women, cooking the favourite food of her Goddess, the heat of the blazing sun and the smoke from the countless pots did not deter her. As her pot boiled, she chanted aloud, knowing that the Goddess had accepted her offering. The priest passed by, blessing the infinite stretch of women - Hindus, Christians, Muslims… As a few drops of water fell on her head, she experienced the joy of a summer shower. In that split second, she knew that she would come again from the other end of the world for this incredible spiritual experience. As incredible as the quality of life and the religious tolerance that had endeared God's Own Country to her.

The story of a goddess called Marit Marit knew that she was changing. Suddenly, life was simple, light and airy. She smiled at everyone. And everyone smiled back. Human beings suddenly mattered. Like her driver Shajahan. Who drove her from historic Cochin to misty Munnar, from exotic Thekkady to enchanting Kumarakom, from dreamy Alleppey to sensational Kovalam. All along, he was an unobtrusive guide and a well-meaning friend. Before Marit packed her bags to leave, she decided to give Shajahan a gift - a car worth € 9500. Today, Marit sits like a goddess on Shajahan’s dashboard. And curious travellers hear the story of how his eyes filled with tears when Marit gifted him and his wife the key to a new future. As for Marit, it was just a little act of kindness inspired by God's Own Country.

Print Ads courtesy by Kerala Tourism

25.11.07

REOG PONOROGO


SENI BERNUANSA MAGIS DARI PONOROGO

Suara khas salompret, terompet tradisional mengisi atmosfer panggung pertunjukan, sedikit serak namun tinggi meliuk-liuk. Berpadu dengan kendang dan gamelan menyajikan ‘orkestrasi’ pentatonik mengiringi atraksi penari dadak merak reog (dadak merak=topeng besar berbentuk kepala harimau dengan bulu-bulu merak disekelilingnya).

Sesungguhnya tari reog tidak semata aksi akrobatik penari topeng dadak merak yang dipakainya. Topeng dengan berat yang dapat mencapai 50 kg, oleh penarinya dibuat meliuk-liuk dengan lincahnya. Ada sebuah alur cerita dalam pertunjukan kesenian khas Ponorogo itu. Konon kelahiran kesenian Reog pada tahun saka 900 itu dilatarbelakangi kisah tentang perjalanan Prabu Kelana Sewandana, penguasa Kerajaan Bantarangin mencari sang permaisuri. Bersama prajurit berkuda, dan patihnya yang setia, Bujangganong. Akhirnya gadis pujaan hatinya telah ditemukan, Dewi Sanggalangit, putri Kediri. Namun sang putri menetapkan syarat agar sang prabu menciptakan sebuah kesenian baru terlebih dahulu sebelum diterima cintanya. Seperti halnya kesenian tradisional Indonesia yang lain, reog adalah seni tradisi yang lahir dari masyarakat. Sebuah tontonan sederhana, yang tidak mengenal alur cerita. Hanya arak-arakan di jalanan dan sesekali berhenti untuk beratraksi di hadapan masa.
Atmosfer magis dan mistis senantiasa menyelimuti pertunjukan reog. Kemampuan fisik para penari dalam membawakan dadak merak yang terkadang lebih berat dari tubuhnya itu dengan gigi, sering kali dihubungkan dengan unsur-unsur kekuatan supranatural.

Demikian juga kehidupan para penari warok yang penuh misteri. Kini, di panggung pertunjukan dan festival, dapat kita saksikan koreografi cerita reog yang diawali dengan tampilnya warok, jatilan, Bujangganong, Kelana Sewandana, barongan dadak merak sebagai sajian pamungkas. Semuanya berisi dan melambangkan segala tingkah laku manusia sepanjang hidupnya, dari saat ia dilahirkan ke dunia ini hingga akhirnya kembali ke pencipta-Nya. Di Kabupaten Ponorogo setiap tahun kita dapat menyaksikan 2 gelaran besar reog. Sebuah festival diselenggarakan dalam menyambut tahun baru Islam (1 Muharram) atau tahun baru Jawa (1 Sura). Reog yang pada awal kelahirannya sarat dengan warna Hindu, dan kemudian mendapat pengaruh Islam dari Raden patah, mungkin akan beradaptasi dengan budaya yang terus diperkaya pengaruh dari luar.

Photo by : Toto Santiko Budi

19.11.07

TRAVEL WARNING : DANGEROUSLY BEAUTIFUL

HANOMAN

In the epic of Ramayana, Hanoman always victorius in accomplishing his tasks and proves himself superior in speed, strength and attitude.

Hanoman constantly espoused the principle of "may the best man win" in competition. He strived to surpass others, but always with dignity. This posture is reflected in the cotton white color if his body hair, a color that traditionally symbolizes sincerty and purity of heart.

His honesty, sense of brotherhood, pursuit of ambition without being ambitious, and sense of humor, enabled him to maintain real friendships. He was lowly of heart, not given to pride, but placed a premium on success.

His enthusiasm, honestly, sportmanship, discipline willingness to learn humanity and friendship all endowed him with a long life.

Image courtesy by Agung Rudianto
(The Breaker of MURI Award - 1001 Concept's Magazine Cover)

EKO AGUS PRAWOTO





Eko A. Prawoto adalah arsitek yang banyak berhubungan dengan Romo Mangun yang lebih dikenal dengan konsep tektonikanya, sehingga banyak orang menyebut sebagai “murid” nya.

Eko bersinggungan dengan Romo Mangun lebih dari 20 tahun. Pada beberapa proyek, dia juga membantu Romo Mangun. Yang paling didapat Eko dari Romo Mangun adlah aspek tektonika, kepekaan bagaimana teknik menyambung, mempertemukan bahan, dan mengartikan sambungan, bagaimana memahami kodrat dan bakat dari bahan, kreativitasnya, juga pada keberanian untuk berbeda, dan mencari dari dalam. Melihat persoalan dari persoalan itu sendiri, tidak risau dengan sekitar. Tidak tentang kulit tapi dari spirit. Menurut dia, pada akhirnya arsitektur harus memerdekakan manusia.

Eko juga mengaku terpengaruh pemikiran Romo Mangun soal pemakaian material bekas. Menurut Romo Mangun, arsitektur harus
konstektual. Sekarang ini banyak orang membutuhkan pekerjaan. Oleh karena itu, dalam satu proses pembangunan rumah, misalnya, sebanyak – banyaknya budget digunakan untuk upah. Bahan boleh murah, tetapi tenaga kerja harus dihargai mahal. Dia mengutip ajaran Romo Mangun yang mengatakan bahwa investasi harus pada sumber daya manusia.

Ciri khas Eko misalnya dengan menyusun
rapi pecahan keramik di antara ubin bermotif. Dia juga menggunakan besi yang dia bentuk khas, untuk menyangga kayu yang bertemu dengan tembok pada beberapa karyanya. Unsur "sederhana" adalah kata yang pas untuk menangkap dan mengungkap makna dari setiap hasil rancangannya, menurutnya agar arsitektur kita tidak terlepas dari akar budayanya. Tapi juga bukan berarti hanya sekadar memoles dan mengambil dari masa lalu. Harus ada kompromi, menjadi modern, tapi masih tertancap pada akarnya. Metodenya adalah nilai – nilai lokal yang masih bisa diambil.

Menurutnya, "Arsitektur" seharusnya tidak memisahkan diri dari ekosistem. Ia harus menjadi bagian integral dari
alam sekitarnya karena rumah bukan entitas otonom. Sedangkan inti dari desain arsitektur ada dua hal, sebagai produk engineering atau juga produk budaya. Itu tergantung pada paradigmanya.

Dalam beberapa tahun terakhir dia semakin sadar untuk mencari metode dengan mengartikulasikan lokalitas. Sementara ini, dia maknai dari ruangnya, makna ruang memperkuat untuk komunitas. Dalam arti arsitektur tidak seharusnya memisah dari kesatuan ekosistem. Jadi ada kontinuitas dengan sekitarnya. Secara lebih spesifik, arti lokalitas menurut Eko adalah dengan menjaga teknik membangun dan pengolahan material lokal, tapi dengan cara baru.

Justru hal yang manual dan kesannya low technology,
menurut dia adalah keunikan tersendiri.


Eko Agus Prawoto
Eko Prawoto (lahir di Yogyakarta, Indonesia, 1959) mendapat gelar Sarjana Arsitektur dari Universitas Gajahmada, Yogyakarta, Indonesia pada tahun 1982, dan gelar Master Arsitektur dari The Berlage Institute, Netherlands pada tahun 1993, dibawah bimbingan Balkrishna V. Doshi. Selama karirnya Prawoto telanh mengerjakan berbagai proyek arsitektural di Yogyakarta dan kota-kota lain di Jawa Tengah, menulis beberapa makalah akademik, dan memamerkan karya-karya instalasinya. Karya-karya arsitektur dan instalasinya telah dipamerkan di London, Venice, Helsinki, Gwangju, Matsidai, Nigata, dan Yogyakarta. Ia juga aktif dalam komunitas seni kontemporer Yogyakarta dimana ia berinteraksi dengan budayawan, seniman dan penulis kota ini. Eko pernah menjadi kurator pameran arsitektur almarhum Y.B. Mangunwijaya di Rumah Seni Cemeti, Yogyakarta. Proyek-proyek Eko Prawoto yang sudah dibangun antara lain Gereja Kristen di Sokaraja, Jawa Tengah (1994-1995), Rumah Mella & Nindityo di Yogyakarta (1995-2004), dan Rumah Seni Cemeti di Yogyakarta (1997-1999) yang menerima IAI Award tahun 2002. Salah satu karya instalasinya adalah Housing for Urban Poor� yang dipamerkan pada The 7th International Architecture Exhibition, Venice Biennale (2000).

All image courtesy by Eko A. Prawoto


18.11.07

WAYANG BEBER

WAYANG BEBER PACITAN
CERITERA JOKO KEMBANG KUNING

Dewi Sekartaji Hilang

Di pendapa keraton Kediri, Prabu Lembu Amijaya berkeluh kesah karena putrinya Dewi Sekartaji
meninggalkannya.


Raja mengumumkan bahwa barangsiapa berhasil menemukan putri itu, akan dinikahkan dengannya. Jaka Kembang Kuning (Panji Asmara Bangun) dari Jenggala berangkat untuk mencari Dewi Sekartaji, begitu pula halnya dengan Prabu Klana Gendingpita dari kerajaan asing. Setelah Jaka Kembang Kuning mengalami pertikaian dengan sejumlah ksatria serta perjumpaan Dewi Sekartaji dengan salah seorang mentri kerajaan, secara kebetulan keduanya bertemu dipasar, dimana Jaka Kembang Kuning menyamar menjadi pemusik.

Jaka Kembang Kuning

Di kerajaan Kediri Prabu Brawijaya sedang mengadakan pertemuan dengan para punggawa kerajaan, masing-masing patih Tandamantri Arya Jeksanegara, Raden Gandarepa, dan utusan dari Kademangan Kuning yang bernama Jaka Kembang Kuning. Prabu Brawijaya sedang bersedih hati karena putri kesayangannya yang bernama Dewi Sekartaji meninggalkan kerajaan tanpa memberi tahu siapapun. Jaka Kembang Kuning menawarkan diri untuk mencari Dewi Sekartaji hingga ketemu. Prabu Brawijaya menyetujui kesanggupan Jaka Kembang Kuning dan memintanya untuk segera berangkat. Pada saat yang bersamaan datang Prabu Klana Gendingpita dari Kerajaan Surateleng (sabrang) mengajukan lamaran pada Prabu Brawijaya agar ia dinikahkan dengan Dewi Sekartaji. Prabu Brawijaya berjanji akan menerima lamaran itu setelah Dewi Sekartaji dapat ditemukan. Prabu Klana diminta untuk menunggu di Teratebang (tempat peristirahatan bagi tamu-tamu kejaan Kediri).

Di Hargalawu Jaka Kembang Kuning yang diikuti oleh kedua Punakawannya (Tawangalun dan Nalederma) dalam perjalanan mencari Dewi Sekartaji bertemu dengan tiga orang ksatria, masing-masing Ganggawercitra, Jaladara, dan Gendrayuda. Ketiga kesatria ini mengajukan keinginannya pada Jaka Kembang Kuning agar dirinya dijadikan sebagai abdi. Jaka Kembang Kuning mengetahui bahwa sebenarnya ketiga kesatria itu adalah pengikut Prabu Klana yang disuruh untuk memata-matai Jaka Kembang Kuning yang dapat mengancam keselamatan jiwanya. Jaka Kembang Kuning menolak keinginan ketiga kesatria itu dan menyarankan agar mengabdikan diri pada Raden Gandarepa salah satu putra Prabu Brawijaya di Kediri.
Saran Jaka Kembang Kuning diterima dan masing-masing melanjutakan perjalanannya.

Di Katumenggungan Palohamba, Tumenggung Conaconi memberitahukan mimpinya yaitu kejatuhan bulan (wahyu sakembaran) pada istrinya. Tumenggung ini mempunyai anak pungut yang sebenarnya Dewi Sekartaji dari Kerajaan Kediri. Pada saat itu Dewi Sekartaji berpamitan pada Tumenggung Conaconi untuk berbelanja di pasar Katumenggungan. Setelah diberi beberapa nasihat oleh Tumenggung Conaconi beserta istrinya, Dewi Sekartaji diperbolehkan berangkat ke pasar.

Di pasar Katumenggungan Jaka Kembang Kuning, Naledarma, dan Tawangalun sedang mengadakan tontonan terbangan diantara kerumunan orang-orang di pasar. Dari kejauhan Jaka Kembang Kuning melihat kehadiran Dewi Sekartaji di tempat itu. Demikian juga Dewi Sekartaji melihat Jaka Kembang Kuning yang sebenaranya adalah Panji Asmarabangun kekasihnya. Dewi Sekartaji jatuh pingsan dan segera dibawa ke Katumenggungan Palohamba oleh beberapa temannya. Sementara Jaka Kembang Kuning kembali ke kademangan Kuning.

Di Kademangan Kuning, Ki Demang Kuning sedang menerima kedatangan Jaka Kembang Kuning, Naledarma dan Tawangalun. Mereka melaporkan perihal yang dialami selama berada di pasar Katumenggungan. Menanggapi laporan itu Demang Kuning menyuruh Tawangalun untuk menyampaikan berita bahwa Dewi Sekartaji berada di Katumenggungan Palohamba pada Prabu Brawijaya di Kediri, dan Naledarma disuruh menyampaikan kendhaga kepada Dewi Sekartaji.

Di Pangreburan (Taman sari Kerajaan Kediri), Dewi Retnamindaka salah satu abdi kepercayaan Prabu Brawijaya yang melayani Dewi Sekartaji sedang menerima kedatangan Dewi Retno Tenggaron (adik dari Prabu Klana). Retno Tenggaron mewakili kakaknya menyampaikan berbagai perhiasan sebagai tanda lamaran pada Dewi Sekartaji, tetapi ditolak oleh Retno Mindaka. Merasa tersinggung Retno Tenggaron mengancam Mindaka dan akhirnya terjadi pertengkaran yang berkembang menjadi pertempuran. Peperangan ini dimenangkan oleh Retno Mindaka, Retno Tenggaron melarikan diri.

Di Teratebang Raden Gandarepa, Patih Sedahrama, dan beberapa prajurit sedang mengatur barisan prajuritnya, datang Tawangalun yang hendak menyampaikan pesan Demang Kuning kepada Prabu Brawijaya. Patih Sedahrama dan Gandarepa mengantarkan Tawangalun menghadap Raja Kediri.

Di Kerajan Kediri Prabu Brawijaya sedang menerima kedatangan Prabu Klana yang mendesak agar segera dinikahkan dengan Dewi Sekartaji dan belum mendapatkan kepastian. Pembicaraan mereka terhenti dengan kedatangan Gandarepa dan Sedahrama yang mengantarkan Tawangalun. Setelah Tawangalun menyampaikan pesan Demang Kuning, Prabu Brawijaya memutuskan bahwa Prabu Klana akan segera dinikahkan dengan Sekartaji asal dapat mengalahkan Tawangalun, Prabu Klana menyanggupi.

Di Pesanggrahan Prabu Klana dan Patih Kebolorodan membicarakan perihal tantangan untuk mengalahkan Tawangalun sebagai salah satu syarat untuk dapat meperistri Dewi Sekartaji. Tidak lama kemudian datang Retno Tenggaron melaporkan bahwa dirinya telah dipermalukan oleh Retno Mindaka dan lamaran Prabu Klana ditolak. Prabu Klana marah dan akan menuntut balas atas perlakuan pada adiknya. Untuk memenuhi tantangan Prabu Brawijaya, Patih Kebolorodan yang disuruh untuk maju ke medan perang melawan Tawangalun.

Di kademangan Kuning Jaka Kembang Kuning mohon diri pada Demang Kuning untuk menyusul Tawangalun yang telah beberapa waktu belum kembali dari Kediri. Demang Kuning mengijinkan permintaan Jaka Kembang Kuning.

Di alun-alun Kediri Patih Kebolorodan berperang melawan Tawangalun dengan disaksikan oleh para punggawa dan prajurit Kediri serta pengikut Prabu Klana. Pertarungan itu dimenangkan oleh Patih Kebolorodan, sementara Tawangalun mencari pertolongan ke luar arena pertarungan. Jaka Kembang Kuning bersama Naledarma yang datang menyusul telah kembali dan segera memberi pertolongan pada Tawangalun. Jaka Kembang Kuning meminta Naledarma untuk melanjutkan pertarungan melawan Kebolorodan. Akirnya Kebolorodan dapat dibunuh oleh Naledarmo. Setelah Tawangalun merasa sembuh dari lukanya, Patih Sedahrama menghadiahi sebuah keris (Pasopati) dengan maksud jika Prabu Klana datang menyerang Kediri Tawangalun harus ikut membantu menghadapinya.

Di Pesanggrahan, Prabu Klana dan Retno Tenggaron sedang berupaya mencari jalan untuk dapat membalas sakit hatinya pada Retno Mindaka dan bisa menemui Dewi Sekartaji di Keputren Kediri. Kesepakatan yang diperoleh, Prabu Klana akan berganti wujud sebagai Raden Gandarepa (kakak Sekartaji) agar tujuannya tercapai.

Di Tamansari Kerajaan Kediri Dewi Sekartaji yang baru saja kembali dari Kademangan Palohamba menerima kedatangan Gandarepa (tiruan) yang minta untuk dilayani. Karena gerak-gerik Gandarepa yang mencurigakan, Sekartaji tidak mau memenuhinya. Tidak lama kemudian datang Raden Gandarepa (asli).
Dewi Sekartaji segera dapat mengetahui saudaranya yang sebenarnya dan minta pertolongan agar musuh yang ada ditempat itu segera diusir, akhirnya terjadi peperangan. Gandarepa palsu dapat dikalahkan dan kembali ke wujud aslinya, Prabu Klana segera lari ke alun-alun.

Di alun-alun Kediri Prabu Klana yang dikejar Prabu Gandarepa menemui para pengikutnya. Sementara Tawangalun telah siap melakukan pertarungan melawan Prabu Klana dan pengikutnya. Pada akhir pertarungan Tawangalun dapat membunuh Prabu Klana dengan keris Pasopati, sedangkan Retno Tenggaron dan para tawanan lainnya segera dibawa menghadap Prabu Brawijaya.

Di Kerajaan Kediri Prabu Brawijaya menerima para tawanan dan laporan tentang berbagai kejadian sejak hilangnya Dewi Sekartaji sampai terbunuhnya Prabu Klana. Prabu Brawjaya memutuskan untuk menikahkan Dewi Sekartaji dengan Jaka Kembang Kuning dan segera mempersiapkan pesta perkawinan. Setelah segala persiapan selesai segera dilaksanakan upacara pernikahan antara Jaka Kembang Kuning dan Dewi Sekartaji.


Image Courtesy by Pujianto (Pasunggingan Wayang Beber "Campur Sari" Sragen)

SRIKANDI


17.11.07

KONSISTENSI IRWAN WILLIAMS



IRWAN WILLIAMS


Irwan Williams berhasil menunjukkan konsistensinya pada dunia perhiasan yang memadukan material dan craftmanship 'lokal'




Dilahirkan sebagai warga negara Amerika, mencintai dunia perhiasan sejak sebuah kejadian unik menimpa dirinya yang akhirnya secara tidak sengaja membuka jalan hidupnya. Diawali ditahun 60-an ketika ia membeli cincin berdesain unik dengan hiasan batuan warna-warni. Tak mengira bahwa cincin yang dibeli di sebuah junk shop di kota LA seharga 10 US Dollar tersebut mengalami metamorfosa yang sangat dahsyat. Batu aneka warna yang terkesan murah tersebut secara perlahan berubah menjadi berlian dengan sebuah berlian pink ditengahnya sebesar 0,5 karat.

Lucky Him ! Dengan harta karun tersebut William memperoleh uang dalam jumlah yang cukup, yang memungkinkan dirinya berkunjung ke Indonesia, negeri impian yang ingin disinggahinya. Perjalanan pertamanya ke Indonesia pada tahun 67, meninggalkan kesan yang sangat dalam hatinya, ia jatuh cinta pada keindahan tanah dan budaya Indonesia, terutama batik serta wayang. Tak heran jika dua tahun kemudian, ia memutuskan menetap dan memulai hidup baru di Indonesia. Di mata banyak kalangan seni, Williams adalah satu dari sekian multi talented artist yang mempelajari seni dan budaya Indonesia secara total; ia belajar menari bersama Farida Utoyo, mempelajari seni batik hingga artefak Indonesia. Selain tertarik pada seni dan budaya Indonesia, Williams-yang menikahi seorang wanita Indonesia pada 1978-juga mengakui bahwa semakin lama ia semakin tertarik pada seni perhiasan. Apalagi ia begitu tertarik pada keindahan batu opal dari daerah Jawa Barat. Keindahan batu opal yang sangat memikat ini merangsang proses kreasi Williams. Dalam setiap kreasinya, ia selalu menyematkan batu asal Indonesia. Keberhasilannya dalam mencipta perhiasan dapat dilihat melalui koleksi perhiasan berlabel Runic Jewels. Perhiasan berdersain unik dan kontemporer ini banyak menggunakan bebatuan semi mulia dari berbagai daerah di Indonesia. Uniknya, setiap bebatuan dikombinasikan dan diikat dengan kerajinan seni perak dan emas dengan detail yang mirip tulisan kuno yang bermakna dalam. Selain Runic Jewels, Williams juga menciptakan koleksi yang banyak terinspirasi dari kekayaan budaya Indonesia ini diakui Williams diciptakan dengan konsep yang sangat matang dan memakan waktu bertahun-tahun. Antusiasme Williams dalam menggali, mengolah, dan menciptakan karya indah, patut diacungi jempol. Pantas jika seniman kelahiran Amerika yang kini muslim ini dianggap sebagai salah satu pekerja seni -yang juga menjadi seorang pencipta perhiasan-berpengaruh di tanah air.

BALE BANJAR GERENCENG








NAFAS ARSITEKTUR MODERN MEMBERI MAKNA BARU PADA "TRADITIONAL MEETING HALL" BALE BANJAR GERENCENG

Adalah seorang warga banjar Gerenceng yang juga merupakan seorang arsitek professional yang menjadi desainer dan arsitek bagi pembangunan kembali banjar Gerenceng ini. A.A. Yoka Sara selaku arsitek, yang diberi kepercayaan dan tanggung jawab pembangunan, dengan secara seksama mempersiapkan segala sesuatu bagi pekerjaan pembangunan kembali bale banjar Gerenceng ini. Warga banjar lainnya antusias ingin terlibat dalam kepanitiaan pembangunan. Kelian Adat dan Kepala Dusun, serta Prajuru Banjar Gerenceng lainnya menjadi titik simpul yang mendorong seluruh jalannya pembangunan. Mereka bekerja bersama dalam semangat ngaturang ayah. Kerja membangun bale banjar ini disadari sebagai sebuah persembahan.


PENGEMBANGAN KONSEP

Pemahaman seni dan ideologi arsitektur modern dalam transformasi visi dan kemampuannya untuk mereinterpretasi ruang dengan berdasar pada kebutuhan mengembalikan spirit bangunan tradisional inilah yang mewarnai pembangunan kembali bale banjar Gerenceng. Dimulai dengan melakukan studi terhadap kondisi masa lalu, kini dan akan datang dengan mengakomodasi pelbagai komponen yang menunjang bagi terbentuknya proses perencanaan. Munculah konsep tempekan yang secara filosofis membagi ruang berdasarkan wilayah tata letak yaitu poros yang menjadi pusat serta kangin-kauh dan kelod-kaja yang menjadi satelitnya.
Gagasan dituangkan ke dalam perencanaan arsitektur utama pada ruang bale banjar dan jineng. Ruang utama bale banjar dibuat dengan atap bersusun dengan penyangga empat tiang besar. Atap bersusun ini jika dilihat dari atas merupakan formasi yang membentuk Tri Mandala menyerupai bunga Padma yang bersisi delapan dan titik tengahnya (puncak) adalah Menur yang terbuat dari tembaga, sebuah harapan akan semua kegiatan banjar dilindungi pikiran baik yang bersumber dari Dewata Nawa Sanga.

Filosofi yang digunakan pada atap adalah filosofi yang lazim bagi bangunan tradisional, yaitu Tiga Dunia (Bhur, Bwah,Swah) yaitu symbol dengan makna adanya transparansi jiwa. Menur yang terbuat dari tembaga itu berada pada posisi tertinggi, yang melambangkan Hyang Parama Wisesa. Atap yang artistik ini ditopang oleh empat pilar yang diberi ornamen dengan materi bata merah memakai pola dan detail empat tempekan banjar sehingga membentuk formasi purusa-predana. Sedang pada bagian kelod yang dipisahkan oleh jalan kecil ditempatkan Jineng, dimana dulunya berada di bawah setinggi jalan, kini dipindahkan ke atas sehingga menjadi lebih tinggi dan leluasa membentang pandang ke sekelilingnya. Ini juga merupakan bagian dari usaha untuk melepaskan instrumen banguan agraris dari ruang sekitarnya yang sangat urban.

Pada bagian ruang utama bale banjar menghadap ke dalam, dibuat level menyerupai panggung yang berfungsi sebagai wadah aktifitas banjar, baik kesenian maupun kegiatan banjar lainnya. Dengan melalui tangga dari bagian belakang banjar maka kita akan sampai di lantai dua tempat menyimpan dan berlatih gamelan sekaligus pada bagian luarnya kita dapat berjalan mengitari sekeliling atap bagian utama.

Finishing dari tiap bagian dengan pemilihan materi yang beragam dikerjakan begitu rapi dan modern; mampu memberikan penawaran ruang dan estetika bagi kepentingan saat ini dan masa depan. Integrasi antara fungsi tradisional bale banjar dan penataannya yang bernuansa modern, membuat bale banjar Gerenceng secara kesatuan menjadi matching dengan ruang sekitarnya yang urban. Jika dilihat dari Jalan Sutomo, maka bale banjar ini akan memberi impresi yang bukan hanya menarik perhatian kita, tetapi secara kuat memberikan gambaran dan kesan keindahan yang tercipta dari hasil pencapaian esetetik perancangnya. Sedari awal, memang bangunan bale banjar Gerenceng ini diposisikan untuk menjadi sebuah landmark di area memasuki kota Denpasar ini.Banjar Gerenceng yang baru ini banyak memberikan nilai-nilai baru bagi aktifitas banjar, seperti disampaikan oleh prajuru Banjar Gerenceng.
Mereka bersama mengakui bahwa selain memberikan kebanggaan bagi Gerenceng, bale banjar yang baru ini memperkuat tali persaudaraan diantara warga masyarakat.

Masyarakat berharap fungsi banjar akan semakin mengakomodasi setiap kegiatan warga.




FENOMENA URBAN

Perubahan desa menjadi kota yang banyak menjadi fenomena di kota Denpasar merupakan sebuah dinamika yang harus disikapi secara baik. Banjar Gerenceng telah melakukannya dengan merenovasi pembangunan bale banjarnya. Nilai kebaruan yang tampak bukan semata modernitas tempelan tetapi mengambil spirit dan hakikat yang ada dalam nilai-nilai tradisional dan budaya Bali sehingga diharapkan dapat menjadi wadah yang tepat bagi masyarakat yang juga tumbuh secara dinamis bukan pada saat ini saja namun untuk masa depan.


Dengan demikian diyakini bahwa pembangunan ini bukan sekadar renovasi bale banjar namun dapat dikatakan sebagai restorasi dan reintepretasi. Semangat revitalisasi fungsi bale banjar turut mewarnai pembangunan kembali bale banjar ini. Mudah-mudahan keberadaan banjar Gerenceng yang baru ini dapat menjadi ruang publik yang lebih fleksibel dan lebih bermanfaat bagi krama Gerenceng, serta bisa menjadi sumbangan yang memperkaya khazanah arsitektur tradisional Bali.

SOLO THE SPIRIT OF JAVA

BRANDING SOLO

“Jogja – Never Ending Asia” dan “Semarang – The Beauty of Asia” yang mencoba mengutilitasi kata “Asia” juga sering dipersepsikan sebagai me-too brand.
Surabaya, yang memperkenalkan “Sparkling Surabaya” (akan saya upload dilain waktu).
Solo tergolong cukup berani dengan The Spirit of Java – Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X sempat mengakui bahwa “Java” lebih menarik dijual dibanding kata “Asia”.
Kesamaan bahasa dan budaya dalam suatu region tertentu, membentuk suatu komunitas yang kuat. Wilayah Solo Raya meliputi Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen dan Klaten atau dikenal dengan Subosukawonosraten. Orang-orang dari wilayah ini lebih senang mengaku sebagai orang Solo. Contohnya, penjual bakso asal Wonogiri bila ditanya lebih suka mengaku sebagai orang Solo. “Solo nya di mana mas?”, “Wonogiri”, begitulah mereka menjawabnya.

Solo merupakan nama lain dari kota Surakarta. Namun pada perkembangannya kata SOLO kemudian digunakan untuk masyarakat di wilayah ini untuk menyebut lokasi tinggalnya. Walaupun asal mereka dari Sukoharjo, Wonogiri atau Karanganyar mereka tetap menyebutnya sebagai orang Solo. Maka dari itu brand name SOLO the spirit of java, dipilih untuk menggambarkan keterikatan ini. Untuk bentuk kesatuan yang lebih jelas, wilayah atau region mempunyai logo sendiri. Logo region ini diturunkan dari logo utama SOLO the spirit of java. Logo ini terbentuk dari garis-garis lengkung yang terkesan berputar dinamis dengan pusat putaran berbentuk “Lung” yang merupakan stilasi dari delapan unsur filosofi hidup masyarakat Jawa.
7 goresan lengkung menggambarkan 7 distrik yang terdiri dari 6 Kabupaten dan 1 Kotamadya. 1 Lung yang menjadi pusat lingkaran menggambarkan visi bersama untuk maju sekaligus icon yang mewakili kekhasan lokal. Bentuk dan gerak lingkaran menggambarkan dinamisme dan semangat untuk maju bersama.

Terlepas dari teori maupun kunci sukses dalam menjalankan destination branding nya, kita tunggu impact dari Branding Solo The Spirit of Java ini...

Logo merupakan hasil besutan dari Freshblood Indonesia

SHANTI SHANTI SHANTI


BRANDING BALI

“…Kepada-Mu Tuhan yang menguasai dunia
Kuasa sealam semesta
Tiada satu menyamai-Nya…..….Cahaya-Mu Tuhan
Terang yang demikian nyata
Dalam sembah dan hening cipta
Kupusatkan seluruh daya
Satu Engkau TuhanYang terangi jiwa hamba
Dalam mengarungi dunia
Kuberjalan dengan cahaya
Om Shanti Shanti Shanti Om”

Bali sebagai sebuah merek (brand) bahkan sering jauh lebih terkenal daripada Indonesia. Sebuah fakta yang suka-tidak suka harus diterima. Pattaya, Maladewa, Samui, Hawaii, Malaysia, Australia atau daerah dan negara mana pun bisa menawarkan pantai seperti Bali. Tapi pernahkah mereka merasakan sebuah proses melasti yang dilakukan tiga hari sebelum Nyepi? Melasti merupakan sebuah prosesi ritual di pantai/sungai yg bertujuan membersihkan kotoran yang ada di bhuana alit (badan manusia) dan bhuana agung (alam semesta).

Pantai di Bali mengajarkan kita akan makna kehidupan, kebijaksanaan dan kedamaian. Tidak cukup?Setiap perayaan Galungan dan Kuningan, umat Hindu di Bali akan memasang penjor di depan rumah masing-masing. Penjor adalah tiang bambu tinggi yang dihiasi dengan janur, hasil bumi dan kain warna kuning-putih.

Gede Prama, konsultan manajemen yang berdasarkan penelitian merupakan salah satu tokoh bagi masyarakat Bali, menceritakan bagaimana penjor yang membubung tinggi dan di puncaknya melengkung ke bawah membawa makna kebijaksanaan untuk selalu rendah hati saat kita berada di atas. Dan satu-satunya daerah di dunia yang bisa menghentikan penerbangan selama satu hari penuh hanyalah Bali, saat Hari Raya Nyepi.

Program branding Bali dimulai dengan melakukan sosialisasi kepada semua stakeholder Bali: pariwisata, industri dan perdagangan, termasuk usaha kecil dan menengah. Kemudian dilanjutkan dengan penelitian intensif selama 6 bulan, baik kepada pihak eksternal dalam hal ini wisatawan maupun internal, yakni pemerintah, masyarakat setempat dan pengusaha.

Penelitian intensif ini layaknya perjalanan pembelajaran kebijaksanaan akan makna kehidupan. Dari penelitian ini akhirnya ditemukan esensi branding Bali, yaitu Hindu Bali yang berbeda dari Hindu di daerah-daerah lain. Diferensiasi merek Bali adalah menawarkan objek budaya, alam dan lingkungan yang memiliki roh spiritualitas Hindu Bali dengan segala ritual yang penuh makna. Dari hasil analisis dan penelitian perbandingan dengan pesaing, juga terlihat jelas bahwa banyak pesaing yang menawarkan objek budaya dan alam, tetapi mereka tidak memilih roh spiritualitas yang mengakar. Inilah esensi branding Bali. Hal ini didukung dengan misi merek Bali, yaitu Tri Hita Karana, yang berarti tiga penyebab kebahagiaan, yaitu parhyangan (hubungan harmonis manusia dengan Tuhan), pawongan (hubungan harmonis antar manusia) dan palemahan (hubungan harmonis antara manusia dan alam). Ini merupakan misi mulia Bali yang mengakar secara kuat di dalam kehidupan masyarakat pulau itu. Misi mulia tersebut yang akhirnya akan memberikan rasa damai bagi setiap orang yang berkunjung ke Bali. Ada sebuah rasa yang berbeda saat kita mulai menginjakkan kaki di Bandara Internasional Ngurah Rai Denpasar. Sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, hanya hati yang selalu merasa damai. Keunikan yang secara eksternal berbeda, tetapi mengakar secara internal. Akhirnya, berdasarkan analisis yang komprehensif dan perumusan strategi yang solid, ditemukan sebuah tujuan dan visi mulia Bali: menjadi The World’s Sanctuary of Harmonius Peace.

Bali menawarkan kedamaian bagi setiap pendatang. Kedamaian yang tidak bisa dibeli dengan apa pun. Kedamaian yang hanya bisa dirasakan saat kita berinteraksi dengan budaya dan masyarakat setempat. Kedamaian hakiki yang berakar pada harmonisnya hubungan manusia dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dan dengan alam. Brand positioning sebagai daerah yang menawarkan kedamaian itulah yang akhirnya menjadi dasar konsep visual dan komersial yang bisa membawa merek Bali sebagai sesuatu yang externally different dan internally inspiring.

Segi tiga adalah simbol sangat esensial dari kestabilan dan keseimbangan. Segi tiga terdiri atas tiga garis lurus. Ujung dari dua garisnya yang saling bertemu ini melambangkan jilatan api ke atas (Brahma-sang Pencipta), lambang lingga atau pallus (purusha). Segi tiga adalah juga perlambang tiga dewa penguasa alam semesta (Trimurti: Brahma, Wisnu dan Siwa), juga tiga tingkatan alam (Bhur, Bwah dan Swah Loka), tiga tingkatan hidup (lahir, hidup dan mati)Bentuk segi tiga juga menjelaskan esensi branding yang sangat diwarnai Tri Hita Karana, basis value yang akan membimbing kehidupan pada keseimbangan. Di luar penjelasan di atas, Hindu memiliki beragam filosofi tentang bentuk segi tiga yang umumnya menyatakan keberadaan dan kaitan seluruh makhluk ciptaan Tuhan dengan alam semesta. Motif ukiran flora yang simetris jika dilipat tepat pada garis tengah segi tiga, motif ukiran pada sisi kiri dan kanan simetris dan serupa. Hal ini untuk memperkuat kesan keseimbangan yang menjadi esensi terciptanya keharmonisan dan kedamaian sesuai dengan visi branding.

Ukiran bermotif flora tampil kuat dan dominan. Hal ini menggambarkan kuatnya kreativitas orang Bali yang dikenal sangat terampil melahirkan karya seni. Motif flora dipilih sebagai simbol kedekatan manusia Bali dengan alam, yang sekaligus menggambarkan salah satu keunggulan Bali, yakni alamnya yang indah (natural). Mahkota pada ujung segi tiga menggambarkan pencapaian tertinggi, kesadaran agung, keagungan dan kemuliaan, sebagai tujuan dari perjalanan meniti keseimbangan yang diisyaratkan nilai dalam Tri Hita Karana (keseimbangan dalam hubungan dengan sesama, lingkungan dan sang Pencipta).

Tulisan Bali didesain khusus dengan mengadopsi bentuk dan garis – garis khas dalam aksara Bali. Memilih huruf B dalam Bali dengan bentuk menyerupai angka 3 dan mirip aksara Ang (aksara suci Brahma). Bentuk tersebut juga untuk menjaga konsistensi konsep yang berbasis pada Tri Hita Karana, segi tiga dan tulisan Bali yang dimulai dengan huruf mirip angka 3.Bentuk yang spesifik tampak pada huruf L yang menjulang hingga menopang mahkota. Maknanya, dibutuhkan komitmen kuat dan langkah berkelanjutan dari seluruh stakeholder untuk mencapai tujuan tertinggi (mahkota).

Branding Bali menggunakan tiga warna yang sangat kuat mencerminkan Bali, yakni merah, hitam dan putih (tri datu). Merah adalah representasi Dewa Brahma, sang Pencipta; Putih – Dewa Wisnu, sang Pemelihara; dan Hitam – Dewa Siwa, sang Pelebur. Kolaborasi tiga warna yang merepresentasikan tiga dewa (Tri Murti) akan melindungi dan menjaga Bali beserta seluruh kehidupan di dalamnya agar tumbuh harmonis dan berkelanjutan bergerak maju dalam kedamaian. Kata “shanti” bermakna damai.


Jika mengucapkan kata “shanti”, kita akan dialiri spirit kedamaian dan keharmonisan. Bagi orang Hindu, “shanti” umumnya diucapkan tiga kali dengan menambahkan kata Om (aksara suci Ida Hyang Widhi Wasa-Tuhan Yang Maha Esa) pada awal dan akhir pengucapannya, yakni “Om Shanti, Shanti, Shanti Om” yang bermakna: semoga damai di hati, di dunia dan di akhirat. Pengucapan tiga kali juga konsisten dengan konsep awal yang berbasis pada penekanan pada angka 3 (Tri).

“Shanti, Shanti, Shanti” merepresentasikan kedamaian pada bhuwana alit dan agung (diri dan seluruh semesta) yang akan menggetarkan vibrasi kesucian hingga menebarkan aura dalam yang mendamaikan dan menyeimbangkan kehidupan semua makhluk.

Dari berbagai sumber
Logo : Ayip - Matamera Communication

NEW BUILD BY RAFAEL VINOLY

LEICESTER PERFORMING ARTS CENTRE
With Rafael Viñoly’s new Theatre and Performing Arts Centre, stage life in Leicester will certainly never be boring. The Uruguay-born New York-based internationally acclaimed architect has produced a lively coloured, striking design with an unusual concept behind it. In an attempt to produce an intrinsically public, functional space, the whole building is turned inside-out, leaving the key spaces of production, construction, craft and technical components, bare and fully visible even from the street, enveloped in a completely transparent glass-paneled metal-framed skin.
The building features two super-flexible main performance areas that not only have no distinction between front and back, but also unite; forming one single hall, thus adapting each time to the varied community needs. A series of moveable walls and sliding curtains – a clear reference to Leicester’s textile manufacturing history - add to the building’s adaptability, marking the areas for stage, workshops, lobby and reception under a continuous theatrical grid that transforms all spaces into potential hosts of all kinds of theatrical activity. The main auditoria are ringed by a balcony in the upper levels, while on the street level, a public restaurant will attract visitors at all times.

REGATTA INDONESIA








REGATTA THE ICON



Sebuah hunian eksklusif dengan konsep waterfront living dengan pemandangan kearah laut Jawa. Nuansa laut.
Dari segi konsep Regatta diterjemahkan dalam bentuk layar terkembang, representasi dari kapal layar elegan yang tengah berlayar ke kota-kota bandar utama dunia dipandu dengan kompas yang merupakan bentuk site plan Regatta, sementara hotel diibaratkan sebagai menara suarnya.
Konsep desain dirancang oleh Tom Wright dari WS Atkins Consultant dubai. Salah satu karya monumental yang merupakan hasil besutannya adalah hotel berbintang lima deluxe Burj Al Arab yang kini menjadi ikon kota Dubai.