11.11.08

LUPA TIDUR



Akhir-akhir ini intens ketemu dengan orang-orang di pasar, di warung dan tentunya temen kantor sendiri yang saban hari ktemu muka mereka. Inilah ungkapan, selorohan, gumam-an, umpatan dan celatukan (celatu=meminjam istilah mas Butet Kertaredjasa) yang walaupun sederhana namun inspiratif, yang bagi sebagian orang menganggapnya tidak penting. Lupa tidur (lali turu), ono dino ono upo (ada kerja ada nasi), jarang pulang, lali dalan (lupa jalan), edan tenan (gila bener) atau apapun yang sempat terekam dalam memori dan sketch book saya. Ada yang bernada positif, optimis dan menggelitik dari sekian ungkapan, syukur tidak banyak yang bernada negatif.

Positif atau negatif tergantung kita yang menginterpretasikannya.
Ungkapan, umpatan dan gumam-an bernada optimis ini terekam setelah ngelihat kenyataan pada tiap diri orang yang saya jumpai, siapapun dia (terutama pekerja pasar) ternyata punya kegigihan untuk mewujudkan mimpi, bahkan terkadang jauh diluar jangkauan mimpinya, atau sebaliknya karena keadaan yang menghimpit, sehingga tak sempat bermimpi (tidak ngoyo bagi mereka adalah cara aman untuk mensyukuri hidup), yang penting periuk baginya dapur harus tetap berdiri tegak.

Dari ungkapan, umpatan,gumam-an yang terucap maupun tak terucap, bernada serius atau sekedar selorohan tersebut, terkadang tidak kita sadari bahwa mereka (para pekerja) adalah orang hebat, punya nyali, tetap semangat untuk menjalani hari walaupun terasa berat baginya, kebutuhan-demi kebutuhan menghimpitnya. Ketemu dengan para pedagang-pedagang yang nota bene UKM yang tanpa harus membaca bukunya Hermawan Kertajaya pun mereka sadar bahwa sudah waktunya untuk mencetak peluang, merebut pasar bahkan mereka telah sadar akan arti pentingya membangun Brand, setidaknya menaikkan citra, tentu dengan bahasa mereka.

Ada cerita juga seorang temen di kantor yang selalu gundah tentang masa depannya, pengen segera nikah maksudnya sehingga harus lebih giat lagi bekerja. Pun saya sendiri yang harus tetap semangat untuk menjaga bara api hidup, walau harus lembur 'biar makmur' tentunya.

Ada cerita temen-temen yang magang yang kadang berseloroh 'lupa tidur' karena mereka harus lembur, bikin konsep atau sekedar menyiapkan materi presentasi, atau ada temen yang jarang pulang karena dikejar deatline.

Saya yakin hal lucu ini sering bahkan jamak kita temui di keseharian kita dari tukang jamu, tukang sapu, tukang becak, eksekutif berdasi hingga para filantropi (nah yang terakhir ini yang saya kepingin).

Cerita-cerita kecil tersebut saya coba mengapresiasinya terangkai ala grafis jalanan layaknya grafis yang sering kita lihat di bak-bak truk atau stiker-stiker bonus TTS, untuk menyemangati diri, temen-temen dikantor atau bahkan siapa saja yang tetep harus semangat menghadapi hari, tetep semangat menatap esok, tetep semangat menggapai mimpi. Terima kasih buat orang-orang yang telah menginspirasi.



1.11.08

SELF-PORTRAIT



Visual Art Exhibition
SELF-PORTRAIT
Famous Living Artists of Indonesia

I have a face, but a face is not what I am.

(Julian Bell, Five Hundred Self-Portraits, Phaidon, New York, 2000)

Setiap potret adalah duel—antara perwujudan dan peleburan diri; antara obsesi mengintip jiwa yang telanjang dan naluri untuk menyembunyikannya.

(Yudhi Soejoatmodjo, “Kolam Narsisus Poriaman”, Tempo, 27 Februari 1993)


Hampir dipastikan, dalam sejarah hidup dan karir perupa, ia pernah menggambar dan memotret dirinya. Potret diri (atau “diri” yang lain) berbentuk foto, patung, lukisan, atau seni lainnya menyimpan segudang masalah. Hidup di antara problem mimetik, kesenangan, seni pesanan, atau pada waktu yang sama dibuat untuk sekadar mengejar nilai estetik. Problem tersebut biasanya lahir ketika persilangan antara kesempatan dan konfrontasi diri seniman, antara sifat romantisme dan kecenderungan sentimentalisme (lebih kasar mungkin disebut Narsisme) berbaur.
Potret di sini bukanlah sebuah gambar mengenai aktivitas kehidupan. Potret lebih banyak bergerak pada tataran sebuah catatan peringatan, buah pikir serta akhirnya berfungsi sebagai “korban” atas dirinya sendiri. Sang seniman lebih banyak berujar mengenai banyak hal dalam karyanya dengan memakai tubuh, wajah, imaji tentang dirinya sendiri. Ia tidak menggambarkan realitas dengan sebuah citra atau sekumpulan tanda-tanda di luar dirinya, tetapi lebih pada “mendera” diri untuk mencapai situasi yang kadang tampak ekstrem.
Perkara lukisan potret diri, dalam sejarah seni rupa telah berkembang pesat. Seni potret telah muncul sejak era seni Timur Jauh (1500 SM.) dan Mesir Kuno yang hidup selama 4000-an tahun. Terbukti dengan adanya bentuk potret diri pada lukisan dinding piramid, selain pada bentuk-bentuk seni patung lainnya. Kala itu perkembangan potret memang bukan mengejar penampakan volume dan kepersisan wajah, namun hanyalah sekadar simbolisasi dari raja-raja yang mereka hormati. Seniman pada masa ini belum tampak mengekplorasi dirinya sendiri.

Di era Romawi kuno potret diri mulai terasa naturalistik, setengah bervolume, namun masih nampak dekoratif. Selain pada lukisan, mereka juga mengembangkan pada patung batu, logam dan lilin dengan kecermatan yang lebih berkembang dari masa sebelumnya. Barulah pada abad ke-15 dan 16 di era Kristen kuno di Eropa, potret diri semakin berkembang pada fungsi agama. Di sela penggambaran Maria dan Jesus (atau sering pula disebut ikon) banyak diproduksi untuk gereja, wajah-wajah seniman muncul sebagai bagian dari representasi physiognomy (ilmu firasat) individu, pelukis itu adalah Pisanello dan van Eyck. Pisanello mengembangkan potret dirinya sebagai profil pada medali (logam), sedang van Eyck melukis dirinya sebagai orang lain pada karya Giovanni Arnolfini and his Wife.
Di era Renaissans, potret diri berkembang sebagai bentuk seni pesanan sangat kuat. Para patron, penguasa, pemimpin gereja menjadi pemesan yang sangat dihargai oleh seniman. Ukuran dan gaya lukisannya tampak sedemikian menarik, berkembang lebih bervolume, realistik, dan cenderung dilebih-lebihkan sekaligus romantis: yang jelek nampak cantik, yang cacat dimanipulasi, dan yang biasa dibuat berwibawa. Di masa ini potret diri selain sebagai wujud visual, namun kadang juga dicampuri dengan suasana mitos dan pesan religi. Di sini muncul nama-nama pelukis seperti Veronese, Titian, Tintoretto, Botticelli, dan Velasquez.
Pada era modern seni potret berkembang menjadi aktivitas utama hampir pada setiap seniman. Selain memotret orang lain, sang perupa selalu menyediakan waktu untuk mendokumentasi dirinya pada karya-karyanya sendiri, baik dengan sketsa, lukisan, patung maupun seni grafis. Potret diri seolah telah menjadi satu kajian tersendiri bagi seniman. Ia memiliki fungsi membawa ego seniman-yang merasa telah dikenal oleh publik-sebagai manusia yang patut untuk dilihat, dicatat, sekaligus dihormati.
Tak kurang seperti Rembrandt dengan amat jeli menampilkan perkembangan dirinya sendiri sejak muda hingga tua: berjenggot dan hampir mati. Puluhan potret dirinya lahir sebagai catatan perkembangan seni yang menandakan upaya seniman bahwa sesungguhnya potret diri telah menjadi satu peruntungan dan tanda perjalanan. Paul Cezanne dan van Gogh melukis dengan gaya Impresionismenya, Picasso memunculkan abstraksi potret dirinya dengan gaya kubis, hingga kemunculan seni potret wajah milik Warhol pada pop art yang dibuatnya dengan warna-warna cerah tahun ‘60-an. Di tahun ‘70-an muncul lukisan megapotret hiperrealis milik Chuck Close.
Seni modern Indonesia memunculkan seni potret dengan cerita yang menarik. Raden Saleh memulai dengan kesadaran Romantikisme yang didapatkan dari tempat gaya itu lahir. Ia berhasil mendokumentasi sekian puluh wajah para pesohor Jawa dan beberapa lainnya dengan teknik yang sangat sempurna. Munculnya seni potret Affandi yang berhasil mengeksploitasi dirinya sendiri pada tingkat yang paling ekstrem; menggambar pose telanjang sebagai sarana mengenal dirinya sendiri dengan cara berdiri pada sebuah cermin.
Namun di tangan Basoeki Abdullah seni potret tampil dengan kesadaran mimetik dan kesenangan (pleasure). Dibuat dengan keterampilan yang tinggi dan dalam tempo tak lama. Dari tangannya muncul ratusan karya potret orang lain dan beberapa tentang dirinya sendiri. Bila tangan Affandi menggenggam pisau, tangan Basoeki menghadirkan bunga. Sejak itu seni potret di Indonesia berkembang diantara ribuan ide.
Namun jika melacak berbagai kecenderungan yang lebih umum dalam konteks seni rupa dunia, karya ‘potret diri’ selama ini memiliki kecenderungan:

  1. IDENTITAS: Memperlihatkan isu tentang identitas diri di seniman secara utuh, tanpa dibebani oleh isu dan konteks yang lain atau menjadi catatan dan sejarah pribadi dengan kompleksitas psikologi si seniman. (Rembrant van Rijn melukis dirinya sendiri sebagai catatan wajah di setiap usia, bisa lihat van Gogh)

  2. TESIS & EKSPERIMENTASI: Memperlihatkan kecenderungan eksperimentasi dan kreativitas media atau teknik dalam visualisasi potret diri. Bahkan dapat pula sebagai bagian dari sarana pengajuan tesis baru dalam kreativitas seni. (Gustave Courbet ketika memproklamasikan Realisme, Egon Schiele dengan memanfaatkan fotografi untuk mengeksplorasi lukisan cat airnya, Salvador Dali dengan gaya surealistik, Dubuffet dengan Art Brut, Yoshimasa Morimura dengan gaya objek buah-nya, Yue Ming Jun atau Fang Li Jun dengan karakter kepalanya yang khasnya)

  3. KONTEKS SOSIAL & SEJARAH: Memperlihatkan hubungan antara berbagai hal, situasi dan kondisi yang sedang berlangsung pada saat ini maupun dengan konteks sejarah (masa lalu) peradaban dengan diri si perupa. Dalam hal ini dapat dilihat pula bahwa posisi seniman sebagai makhluk sosial yang berada di tengah-tengah masyarakat. (Leonardo da Vinci pada Monalisa atau Shirin Neshat dalam karya Seeking Martyrdom, 1955)

  4. Kecenderungan yang mengarah pada percampuran ide-ide baru yang mungkin belum tercatat dalam sejarah.


Dalam pameran ini diharapkan perupa melukiskan dirinya sendiri (dalam hal ini ekplorasi wajah sangat dan lebih diharapkan), sesuai dan secara jujur diakui sebagai bagian dari karakter yang dimilikinya saat ini. Adapun perihal media, dibebaskan: lukis, patung, grafis, sesuai dengan kebiasaan dalam berkarya seni. Dalam hal ini kurator akan membaca berbagai peragai yang muncul dalam setiap karya potret diri yang dihasilkan perupa. Sampai sejauh manakah wacana ‘potret diri’ di tangan perupa pada masa kini? Perupa dapat melakukan eksplorasi wacana atau disesuaikan dengan gaya karyanya, atau dapat pula memilih kecenderungan (klasifikasi) yang telah diungkap di atas.
Pameran ini mencoba memetakan ‘peristiwa’ melalui wajah para perupa.


Curated by Mikke Susanto
Logotype & All of Material promotion design by Agung Rudianto
Image taken from artwork of F. Sigit Santoso, Aku Bukan Mesias, 2008

RUMAH TINGGAL DI DEPOK - SLEMAN - YOGYAKARTA


Menghargai ruang, membaca makna, mengisi jiwa.

Sederhana,lapang dan natural adalah hasil akhir yang sengaja ditempuh dalam serangkaian proses perancangan rumah tinggal ini,sehingga mampu memberikan kebebasan berimajinasi dan mengalirkan kehangatan jiwa bagi penghuninya.Rumah tak hanya bisa dipandang sebatas dalam wujud fisik semata tentunya.

Eksplorasi dan idiom-idiom desain serta penekanan budget disikapi melalui penataan ruang dan ekspresi desain sederhana namun mampu memberikan aura dan tampilan visual yang unik, berkarakter tanpa arogansi sebagai sebuah perwujudan apresiasi nilai suasana rumah kampung di Jogja, rumah sebagai wahana untuk bersua, berehat dan bertetirah. Namun ada yang lebih penting yaitu rumah sebagai tempat penanaman nilai-nilai bagi penghuninya.


Bangunan didesain terkesan masif di bagian depan dengan bahasa dingin sebagai sebuah solusi facade muka yang menghadap kearah barat, bidang tampak depan merupakan sebuah lapisan dinding penetrasi panas, sehingga minim bukaan jendela. Kesan dingin tersebut sengaja diperlunak dengan ruang tamu yang sengaja dibuat transparan di bagian depan bangunan dan dibuatkan sebuah pencapaian tidak langsung dengan trap tangga. Kanopi transparan bermateri jajaran besi pipa dan kaca dibagian penutupnya menjadi aksen sekaligus menjadi penekanan seakan menjadi point interest pada bagian muka bangunan yang sebelumnya terkesan introvert.


Tatanan ruang secara dimensional, peletakan dan bentuk lebih ditentukan oleh posisi struktur. Hubungan antar ruang dijalin dengan elemen pembagi ruang yang apa adanya dan dibiarkan lapang. Melalui tatanan bilah kayu,kaca,komposisi bidang solid transparan dan pemanfaatan material natural lainnya dengan pengkondisian arsitektur yang tidak berlebihan diharapkan mampu menyampaikan ekspresi sederhana seutuhnya.