1.12.07
MARKOES DJADJADININGRAT
BUKU 30 TAHUN INDONESIA MERDEKA
Namanya Markoes Djadjadiningrat. Dia disebut-sebut sebagai desainer grafis yang punya kelas di Indonesia. Logo sejumlah perusahaan, tercipta dari tangannya: Telkom, Garuda Indonesia, Indosat, BNI. Meski logo-logo itu bisa dijumpai di mana-mana, di pinggir jalan, di layar televisi, di hotel, di gedung-gedung mewah, tapi si pencipta relatif tak dikenal.
Suatu April pagi yang cerah, saya bertandang ke rumahnya di sebelah barat Bandung. Vespa tua menjajal lubang-lubang di jalan menuju ke rumahnya. Markoes pribadi yang hangat. Dia menyambut kedatangan saya di ujung pintu rumahnya. Rumahnya, asri dengan ornamen kayu dan ukiran. Ini juga sebuah galeri bernama Cipta Lima, yang uniknya, didirikan dan dijalankan bersama isteri dan ketiga putra mereka, yang uniknya lagi, sama-sama disainer grafis: Markoes, Dewi Tamarawati (istri) serta Musa Maulana Yusuf, Lutfi Sahid Nurhakim, Rafi Adrian Zulkarnain. Galeri ditata layaknya sebuah rumah, jauh dari kesan kantor.
Dalam masyarakat Sunda, nama ”Djadjadiningrat” menunjukkan si empunya berasal dari kalangan menak. Namun Markoes tak mewariskan nama aristokrat itu kepada anak-anaknya. Saya diterima di ruang kerja Markoes. Ada tempat tidur di ruang sebelah kiri. Meja kerja tertata rapi tanpa komputer. Di atas meja tergeletak buku tebal berjudul 30 Tahun Indonesia Merdeka, Sejarah Keris dan lain-lain. Dua buku itu menyedot perhatian mata. Ukurannya besar dan tebal. Semuanya, buku-buku karya Cipta Lima. Potret buram Soekarno, membuka lembar menuju catatan 30 Tahun Indonesia Merdeka. Ada tiga jilid, masing-masing untuk periode 1945-1955, 1955-1965 dan 1965-1975. Sudharmono, menteri sekretaris negara era Orde Baru, adalah orang yang bertanggungjawab atas penerbitan buku tiga jilid ini. Dalam kata sambutannya ia mengatakan, penyusunan peristiwa-peristiwa dalam buku ini sengaja dibuat kronologis, agar pembaca bisa menilai hasil pembangunan yang selama ini telah dijalankan. Bila pemerintah Indonesia menulis sejarah, tentu saja, selalu ada selingkuh dari fakta masa lalu. Tapi bukankah setiap orang atau kelompok atau lembaga berhak menulis buku? Meminjam perkataan mendiang Pramoedya Ananta Toer, “Melawan buku dengan buku.” Percuma melawan buku dengan golok atau debat kusir.
Buku 30 Tahun Indonesia Merdeka, dikerjakan selama setahun. Waktu yang relatif pendek untuk buku semacam itu. Dokumentasi naskah dan foto diambil dari Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Orang-orang yang terlibat dalam penyusunan teks meliputi Ginandjar Kartasasmita, Nugroho Notosusanto, A. Prabowo, Bambang Kesowo dan sebagainya. Notosusanto adalah sarjana Universitas Indonesia, yang dianggap berperan banyak dalam ”militerisasi” sejarah Indonesia. Markoes punya cerita menarik. Saat diminta terlibat dalam pembuatan buku itu, ia baru saja menyelesaikan tugas akhir di Institut Teknologi Bandung, jurusan desain grafis pada 1976. Tugas akhirnya dianggap paling meriah.
Poster-poster besar aneka warna. Para dosen terkejut dan antusias melihatnya. Usai sidang mereka berebut untuk memiliki karya Markoes. Sukses Markoes, rupanya hinggap ke telinga orang-orang Istana Merdeka. Seorang pemuda berusia 28 tahun dengan hasil karya memukau. Kristamurti Samil, kepala biro umum Sekretariat Negara, minta Markoes terlibat dalam pembuatan buku itu. Koordinatornya Ginandjar Kartasasmita. Markoes muda sangat senang menerima tawaran langsung dari Sekretariat Negara. Apalagi, saat itu disiplin ilmu tersebut belum populer di Indonesia. Masyarakat belum mengerti sepenuhnya apa pekerjaan seorang desainer grafis, walau mereka bisa melihat produk-produk desain grafis di mana saja di sekeliling mereka. Orang juga tidak peduli atau tidak merasa perlu tahu siapa sosok di balik penciptaan berbagai barang yang mereka lihat atau pegang, apalagi menghargainya sebagai karya seni Markoes, kerja keras. Sebab, tak mudah mengerjakan proyek buku ini dengan sistem manual.
Perlu ketelitian, kesabaran dan perhitungan. Ia membuat sistem dalam ingatan saja. Jangan membayangkan sistem komputerisasi, yang serba canggih. Hanya tinggal klik atau memindahkan kursor. Tak perlu memotong kertas-kertas halaman demi halaman untuk melihat contoh hasil lay out. Saat itu, Bandung belum mengenal komputer. Hal pertama yang dilakukan Markoes adalah membuat dummy dari buku yang akan dibuat. Kemudian, diajukan kepada koordinatornya. Dummy dibuat di Hongkong dan Singapura, ketika ia sengaja mempelajari sistem kerja desainer grafis di kedua negara itu. “Dari mulai menyeleksi foto-foto, hingga mempertahankan kualitas foto agar tidak pucat, semuanya manual,” ujar Markoes. Markoes membuat garis dan angka-angka untuk halaman, langsung di atas kertas. Satu lembar, ia selesaikan selama 10 menit. Hitung saja berapa lama ia harus merampungkan 800 halaman dalam buku itu. Ia mulai bekerja sejak fajar memulas ufuk timur hingga berganti tanggal. Demikian setiap harinya. “Tapi saat itu gak ada masalah, kok!” timpalnya. Kenapa fotonya hitam putih? Ini pertanyaan tak penting, tapi pada saat itu dunia fotografi sudah mengenal warna. “Iya, aneh juga, padahal waktu itu sudah ada foto berwarna. Mungkin kalau tidak hitam putih tidak identik dengan sejarah,” kata Markoes menerka-nerka, sambil tersenyum mengganggukkan kepala.
“Seorang desainer harus memahami konteks buku yang sedang digarapnya, agar timbul emosi dalam karyanya,” kata Markoes. Ia bahkan sampai hafal foto-foto dan teks materi buku itu. Tapi ia baru sadar bahwa foto-foto yang dimuat tidak mencantumkan nama fotografer atau agency asal foto itu. Kesadaran itu pun menyembul ketika saya mempertanyakannya. “Saya lupa,” kelakarnya. Markoes tak mengetahui apa yang menjadi pertentangan saat itu. Surat perintah Sebelas Maret, Gerakan 30 September, pembersihan Partai Komunis Indonesia, isu kudeta merambat dari Soeharto kepada Presiden Soekarno, semuanya di luar pikiran. “Boro-boro mengingat luka lama, saat itu yang timbul adalah semangat membangun,” ujar Markoes. “Saya mengalami saat-saat menakutkan. Begitu Bung Karno turun dan Soeharto naik, atmosfernya nyaman. Terasa terlindungi,” lanjut Markoes bersemangat. Tapi, belakangan buku-buku sejarah yang dibuat pemerintah Orde Baru banyak dikritik. Pencantuman PKI pada Gerakan 30 September. Kebenaran surat perintah Sebelas Maret. Dimana catatan dan foto-foto pembantaian lebih dari sejuta orang PKI? Misteri pembunuhan terhadap Tan Malaka, seorang pemikir dan pejuang proletar. Masih buram, pucat. “Tidak ada buku sejarah yang memuaskan semua pihak, apalagi partai. Tak usah mengungkit masa lalu, tapi kalau mau diluruskan silahkan saja. Yang paling penting kan keadaan sekarang,” ungkap Markoes. Nada bicaranya turun beberapa oktaf. “Kita harus melihat hasil akhirnya. Kalau bagus, kenapa mengungkit masa lalu?” ujar Markoes. Karir Markoes terus gemilang. Dia dinilai berhasil membuat buku sejarah resmi Orde Baru. Dia pun diminta membuat promosi Indonesia ke mancanegara dalam bentuk visualisasi dua dimensi. Intinya, pemerintah Indonesia mengundang para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Itu adalah pertama kalinya Indonesia mempromosikan diri sebagai negara yang siap bergulat dengan modal asing. Hasil kerjanya dinilai baik. Markoes kemudian mendapat order untuk mendisain piala penghargaan lingkungan hidup Kalpataru dan kebersihan kota Adipura. Dari awal sampai sekarang, Markoes memilih jalur freelance. Pilihan itu justru mengantarnya pada tingkat kepuasan dan memiliki kelas dengan sendirinya. Musa Maulana Yusuf, si anak sulung, mengagumi Markoes.
Sebagai disainer grafis, Musa menganggap ayahnya itu sebagai guru terbaiknya. Di alamat blog Musa, Markoes disejajarkan dengan maestro-maestro desainer grafis yang menginspirasinya. Markoes berkomentar, ”Saya ingin anak-anak muncul sendiri, tidak dibayang-bayangi oleh saya.”
Teks : Mulyani Hasan
Image Source : Cipta Lima
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar