5.2.08

KOMEDI PUTAR


“Komedi Putar” (“Merry-Go-Round”) selalu dikaitkan dengan pesta rakyat, tidak saja di Indonesia akan tetapi juga pada pesta rakyat di seluruh dunia. Pesta rakyat tersebut sering dikaitkan dengan upacara keagamaan atau peringatan lain seperti dimulainya masa tanam, masa panen, peringatan kemerdekaan, dll. Esensinya adalah bahwa rakyat memerlukan suatu forum untuk berkumpul dan mengungkapkan harapan dan rasa syukurnya. Pameran Seni Visual “Komedi Putar”, yang diselenggarakan untuk merespons “Sekaten”, yakni Pasar Malam dan agenda tahunan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, yang merupakan bagian dari tradisi kebudayaan sekaligus religi masyarakat Yogya. Dan sesungguhnya peristiwa ini bermakna lebih jauh. Betapa luasnya, betapa dalam dan tingginya makna peristiwa “Komedi Putar” ini sebenarnya. Peristiwa ini pasti jauh lebih dari sekedar peristiwa kesenian, atau peristiwa kebudayaan, atau dalam terminologi yang biasanya secara umum dipakai – bahwa kita sedang memacu tegaknya kembali seni tradisi di tengah mania modernisme, kapitalisme dan industrialisme kebudayaan yang secara sangat dahsyat mengikis dan memusnahkan identitas original masyarakat dan bangsa kita.
Kalau kita membatasi diri pada gambar “Komedi Putar”, maka skala waktunya mungkin 2-3 abad,
berurusan dengan sejarah tamu tak diundang yang bernama Belanda. Kalau batasnya adalah “Sekaten”, jangka waktu pragmatisnya paling jauh bersamaan dengan masa hidup Kerajaan Mataram. Tapi kalau “Sekaten” ditemukan pada konteks “Syahadatain” maka skala waktu nilainya adalah 17 abad ke belakang. Bahkan kalau Penyelenggara Pameran ini mengacu pada tradisi Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, berarti batas konteks kita adalah juga 2-3 abad.

Tetapi kalau kita “slulup” ke kata Hamengku Buwono, Mangku Bumi, serta pola gelar pucuk kewibawaan Jawa yang menggunakan kata “Sultan” (dalam Al-Quran “sulthan” artinya kekuatan ekstra penembus langit dan bumi) – maka kita akan “curiga” bahwa “Bangsa” yang melahirkan Indonesia sampai Majapahit sampai Mataram Kuno, yang melahirkan Jawa Sunda Melayu dst pasti bukan “Bangsa” yang dipimpin oleh “Raja” yang sekedar “Hamengku Yogyakarta” atau “Mangku Mataram”, tetapi “memangku bumi dan semesta”.

“Komedi Putar” ini bak cermin berputarnya kesadaran dan peradaban di mana kita sedang hidup.

“Jangan berhenti berputar lho, nanti kehilangan komedi…”.

Emha Ainun Nadjib
Kadipiro, 23 Februari 2008

Artwork : Agung Rudianto untuk Pameran Komedi Putar Jogja Gallery

1 komentar:

Eko Eshape mengatakan...

fotonya bagus-bagus deh.....

jadi pingin punya kamera yang bisa bikin kualitas foto kita ciamik, tapi cara ngambilnya nggak bagus jadi hasilnya kurang sempurna ya?

salam

terus berkreasi ya, bagus2 kok foto anda