
Kalau kita membatasi diri pada gambar “Komedi Putar”, maka skala waktunya mungkin 2-3 abad, berurusan dengan sejarah tamu tak diundang yang bernama Belanda. Kalau batasnya adalah “Sekaten”, jangka waktu pragmatisnya paling jauh bersamaan dengan masa hidup Kerajaan Mataram. Tapi kalau “Sekaten” ditemukan pada konteks “Syahadatain” maka skala waktu nilainya adalah 17 abad ke belakang. Bahkan kalau Penyelenggara Pameran ini mengacu pada tradisi Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, berarti batas konteks kita adalah juga 2-3 abad.
Tetapi kalau kita “slulup” ke kata Hamengku Buwono, Mangku Bumi, serta pola gelar pucuk kewibawaan Jawa yang menggunakan kata “Sultan” (dalam Al-Quran “sulthan” artinya kekuatan ekstra penembus langit dan bumi) – maka kita akan “curiga” bahwa “Bangsa” yang melahirkan Indonesia sampai Majapahit sampai Mataram Kuno, yang melahirkan Jawa Sunda Melayu dst pasti bukan “Bangsa” yang dipimpin oleh “Raja” yang sekedar “Hamengku Yogyakarta” atau “Mangku Mataram”, tetapi “memangku bumi dan semesta”.
“Komedi Putar” ini bak cermin berputarnya kesadaran dan peradaban di mana kita sedang hidup.
“Jangan berhenti berputar lho, nanti kehilangan komedi…”.
Emha Ainun Nadjib
Kadipiro, 23 Februari 2008
Artwork : Agung Rudianto untuk Pameran Komedi Putar Jogja Gallery
1 komentar:
fotonya bagus-bagus deh.....
jadi pingin punya kamera yang bisa bikin kualitas foto kita ciamik, tapi cara ngambilnya nggak bagus jadi hasilnya kurang sempurna ya?
salam
terus berkreasi ya, bagus2 kok foto anda
Posting Komentar