19.11.07

EKO AGUS PRAWOTO





Eko A. Prawoto adalah arsitek yang banyak berhubungan dengan Romo Mangun yang lebih dikenal dengan konsep tektonikanya, sehingga banyak orang menyebut sebagai “murid” nya.

Eko bersinggungan dengan Romo Mangun lebih dari 20 tahun. Pada beberapa proyek, dia juga membantu Romo Mangun. Yang paling didapat Eko dari Romo Mangun adlah aspek tektonika, kepekaan bagaimana teknik menyambung, mempertemukan bahan, dan mengartikan sambungan, bagaimana memahami kodrat dan bakat dari bahan, kreativitasnya, juga pada keberanian untuk berbeda, dan mencari dari dalam. Melihat persoalan dari persoalan itu sendiri, tidak risau dengan sekitar. Tidak tentang kulit tapi dari spirit. Menurut dia, pada akhirnya arsitektur harus memerdekakan manusia.

Eko juga mengaku terpengaruh pemikiran Romo Mangun soal pemakaian material bekas. Menurut Romo Mangun, arsitektur harus
konstektual. Sekarang ini banyak orang membutuhkan pekerjaan. Oleh karena itu, dalam satu proses pembangunan rumah, misalnya, sebanyak – banyaknya budget digunakan untuk upah. Bahan boleh murah, tetapi tenaga kerja harus dihargai mahal. Dia mengutip ajaran Romo Mangun yang mengatakan bahwa investasi harus pada sumber daya manusia.

Ciri khas Eko misalnya dengan menyusun
rapi pecahan keramik di antara ubin bermotif. Dia juga menggunakan besi yang dia bentuk khas, untuk menyangga kayu yang bertemu dengan tembok pada beberapa karyanya. Unsur "sederhana" adalah kata yang pas untuk menangkap dan mengungkap makna dari setiap hasil rancangannya, menurutnya agar arsitektur kita tidak terlepas dari akar budayanya. Tapi juga bukan berarti hanya sekadar memoles dan mengambil dari masa lalu. Harus ada kompromi, menjadi modern, tapi masih tertancap pada akarnya. Metodenya adalah nilai – nilai lokal yang masih bisa diambil.

Menurutnya, "Arsitektur" seharusnya tidak memisahkan diri dari ekosistem. Ia harus menjadi bagian integral dari
alam sekitarnya karena rumah bukan entitas otonom. Sedangkan inti dari desain arsitektur ada dua hal, sebagai produk engineering atau juga produk budaya. Itu tergantung pada paradigmanya.

Dalam beberapa tahun terakhir dia semakin sadar untuk mencari metode dengan mengartikulasikan lokalitas. Sementara ini, dia maknai dari ruangnya, makna ruang memperkuat untuk komunitas. Dalam arti arsitektur tidak seharusnya memisah dari kesatuan ekosistem. Jadi ada kontinuitas dengan sekitarnya. Secara lebih spesifik, arti lokalitas menurut Eko adalah dengan menjaga teknik membangun dan pengolahan material lokal, tapi dengan cara baru.

Justru hal yang manual dan kesannya low technology,
menurut dia adalah keunikan tersendiri.


Eko Agus Prawoto
Eko Prawoto (lahir di Yogyakarta, Indonesia, 1959) mendapat gelar Sarjana Arsitektur dari Universitas Gajahmada, Yogyakarta, Indonesia pada tahun 1982, dan gelar Master Arsitektur dari The Berlage Institute, Netherlands pada tahun 1993, dibawah bimbingan Balkrishna V. Doshi. Selama karirnya Prawoto telanh mengerjakan berbagai proyek arsitektural di Yogyakarta dan kota-kota lain di Jawa Tengah, menulis beberapa makalah akademik, dan memamerkan karya-karya instalasinya. Karya-karya arsitektur dan instalasinya telah dipamerkan di London, Venice, Helsinki, Gwangju, Matsidai, Nigata, dan Yogyakarta. Ia juga aktif dalam komunitas seni kontemporer Yogyakarta dimana ia berinteraksi dengan budayawan, seniman dan penulis kota ini. Eko pernah menjadi kurator pameran arsitektur almarhum Y.B. Mangunwijaya di Rumah Seni Cemeti, Yogyakarta. Proyek-proyek Eko Prawoto yang sudah dibangun antara lain Gereja Kristen di Sokaraja, Jawa Tengah (1994-1995), Rumah Mella & Nindityo di Yogyakarta (1995-2004), dan Rumah Seni Cemeti di Yogyakarta (1997-1999) yang menerima IAI Award tahun 2002. Salah satu karya instalasinya adalah Housing for Urban Poor� yang dipamerkan pada The 7th International Architecture Exhibition, Venice Biennale (2000).

All image courtesy by Eko A. Prawoto


Tidak ada komentar: