BRANDING BALI
“…Kepada-Mu Tuhan yang menguasai dunia
“…Kepada-Mu Tuhan yang menguasai dunia
Kuasa sealam semesta
Tiada satu menyamai-Nya…..….Cahaya-Mu Tuhan
Terang yang demikian nyata
Dalam sembah dan hening cipta
Kupusatkan seluruh daya
Satu Engkau TuhanYang terangi jiwa hamba
Dalam mengarungi dunia
Kuberjalan dengan cahaya
Om Shanti Shanti Shanti Om”
Bali sebagai sebuah merek (brand) bahkan sering jauh lebih terkenal daripada Indonesia. Sebuah fakta yang suka-tidak suka harus diterima. Pattaya, Maladewa, Samui, Hawaii, Malaysia, Australia atau daerah dan negara mana pun bisa menawarkan pantai seperti Bali. Tapi pernahkah mereka merasakan sebuah proses melasti yang dilakukan tiga hari sebelum Nyepi? Melasti merupakan sebuah prosesi ritual di pantai/sungai yg bertujuan membersihkan kotoran yang ada di bhuana alit (badan manusia) dan bhuana agung (alam semesta).
Pantai di Bali mengajarkan kita akan makna kehidupan, kebijaksanaan dan kedamaian. Tidak cukup?Setiap perayaan Galungan dan Kuningan, umat Hindu di Bali akan memasang penjor di depan rumah masing-masing. Penjor adalah tiang bambu tinggi yang dihiasi dengan janur, hasil bumi dan kain warna kuning-putih.
Gede Prama, konsultan manajemen yang berdasarkan penelitian merupakan salah satu tokoh bagi masyarakat Bali, menceritakan bagaimana penjor yang membubung tinggi dan di puncaknya melengkung ke bawah membawa makna kebijaksanaan untuk selalu rendah hati saat kita berada di atas. Dan satu-satunya daerah di dunia yang bisa menghentikan penerbangan selama satu hari penuh hanyalah Bali, saat Hari Raya Nyepi.
Program branding Bali dimulai dengan melakukan sosialisasi kepada semua stakeholder Bali: pariwisata, industri dan perdagangan, termasuk usaha kecil dan menengah. Kemudian dilanjutkan dengan penelitian intensif selama 6 bulan, baik kepada pihak eksternal dalam hal ini wisatawan maupun internal, yakni pemerintah, masyarakat setempat dan pengusaha.
Penelitian intensif ini layaknya perjalanan pembelajaran kebijaksanaan akan makna kehidupan. Dari penelitian ini akhirnya ditemukan esensi branding Bali, yaitu Hindu Bali yang berbeda dari Hindu di daerah-daerah lain. Diferensiasi merek Bali adalah menawarkan objek budaya, alam dan lingkungan yang memiliki roh spiritualitas Hindu Bali dengan segala ritual yang penuh makna. Dari hasil analisis dan penelitian perbandingan dengan pesaing, juga terlihat jelas bahwa banyak pesaing yang menawarkan objek budaya dan alam, tetapi mereka tidak memilih roh spiritualitas yang mengakar. Inilah esensi branding Bali. Hal ini didukung dengan misi merek Bali, yaitu Tri Hita Karana, yang berarti tiga penyebab kebahagiaan, yaitu parhyangan (hubungan harmonis manusia dengan Tuhan), pawongan (hubungan harmonis antar manusia) dan palemahan (hubungan harmonis antara manusia dan alam). Ini merupakan misi mulia Bali yang mengakar secara kuat di dalam kehidupan masyarakat pulau itu. Misi mulia tersebut yang akhirnya akan memberikan rasa damai bagi setiap orang yang berkunjung ke Bali. Ada sebuah rasa yang berbeda saat kita mulai menginjakkan kaki di Bandara Internasional Ngurah Rai Denpasar. Sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, hanya hati yang selalu merasa damai. Keunikan yang secara eksternal berbeda, tetapi mengakar secara internal. Akhirnya, berdasarkan analisis yang komprehensif dan perumusan strategi yang solid, ditemukan sebuah tujuan dan visi mulia Bali: menjadi The World’s Sanctuary of Harmonius Peace.
Bali menawarkan kedamaian bagi setiap pendatang. Kedamaian yang tidak bisa dibeli dengan apa pun. Kedamaian yang hanya bisa dirasakan saat kita berinteraksi dengan budaya dan masyarakat setempat. Kedamaian hakiki yang berakar pada harmonisnya hubungan manusia dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dan dengan alam. Brand positioning sebagai daerah yang menawarkan kedamaian itulah yang akhirnya menjadi dasar konsep visual dan komersial yang bisa membawa merek Bali sebagai sesuatu yang externally different dan internally inspiring.
Segi tiga adalah simbol sangat esensial dari kestabilan dan keseimbangan. Segi tiga terdiri atas tiga garis lurus. Ujung dari dua garisnya yang saling bertemu ini melambangkan jilatan api ke atas (Brahma-sang Pencipta), lambang lingga atau pallus (purusha). Segi tiga adalah juga perlambang tiga dewa penguasa alam semesta (Trimurti: Brahma, Wisnu dan Siwa), juga tiga tingkatan alam (Bhur, Bwah dan Swah Loka), tiga tingkatan hidup (lahir, hidup dan mati)Bentuk segi tiga juga menjelaskan esensi branding yang sangat diwarnai Tri Hita Karana, basis value yang akan membimbing kehidupan pada keseimbangan. Di luar penjelasan di atas, Hindu memiliki beragam filosofi tentang bentuk segi tiga yang umumnya menyatakan keberadaan dan kaitan seluruh makhluk ciptaan Tuhan dengan alam semesta. Motif ukiran flora yang simetris jika dilipat tepat pada garis tengah segi tiga, motif ukiran pada sisi kiri dan kanan simetris dan serupa. Hal ini untuk memperkuat kesan keseimbangan yang menjadi esensi terciptanya keharmonisan dan kedamaian sesuai dengan visi branding.
Ukiran bermotif flora tampil kuat dan dominan. Hal ini menggambarkan kuatnya kreativitas orang Bali yang dikenal sangat terampil melahirkan karya seni. Motif flora dipilih sebagai simbol kedekatan manusia Bali dengan alam, yang sekaligus menggambarkan salah satu keunggulan Bali, yakni alamnya yang indah (natural). Mahkota pada ujung segi tiga menggambarkan pencapaian tertinggi, kesadaran agung, keagungan dan kemuliaan, sebagai tujuan dari perjalanan meniti keseimbangan yang diisyaratkan nilai dalam Tri Hita Karana (keseimbangan dalam hubungan dengan sesama, lingkungan dan sang Pencipta).
Tulisan Bali didesain khusus dengan mengadopsi bentuk dan garis – garis khas dalam aksara Bali. Memilih huruf B dalam Bali dengan bentuk menyerupai angka 3 dan mirip aksara Ang (aksara suci Brahma). Bentuk tersebut juga untuk menjaga konsistensi konsep yang berbasis pada Tri Hita Karana, segi tiga dan tulisan Bali yang dimulai dengan huruf mirip angka 3.Bentuk yang spesifik tampak pada huruf L yang menjulang hingga menopang mahkota. Maknanya, dibutuhkan komitmen kuat dan langkah berkelanjutan dari seluruh stakeholder untuk mencapai tujuan tertinggi (mahkota).
Branding Bali menggunakan tiga warna yang sangat kuat mencerminkan Bali, yakni merah, hitam dan putih (tri datu). Merah adalah representasi Dewa Brahma, sang Pencipta; Putih – Dewa Wisnu, sang Pemelihara; dan Hitam – Dewa Siwa, sang Pelebur. Kolaborasi tiga warna yang merepresentasikan tiga dewa (Tri Murti) akan melindungi dan menjaga Bali beserta seluruh kehidupan di dalamnya agar tumbuh harmonis dan berkelanjutan bergerak maju dalam kedamaian. Kata “shanti” bermakna damai.
Branding Bali menggunakan tiga warna yang sangat kuat mencerminkan Bali, yakni merah, hitam dan putih (tri datu). Merah adalah representasi Dewa Brahma, sang Pencipta; Putih – Dewa Wisnu, sang Pemelihara; dan Hitam – Dewa Siwa, sang Pelebur. Kolaborasi tiga warna yang merepresentasikan tiga dewa (Tri Murti) akan melindungi dan menjaga Bali beserta seluruh kehidupan di dalamnya agar tumbuh harmonis dan berkelanjutan bergerak maju dalam kedamaian. Kata “shanti” bermakna damai.
Jika mengucapkan kata “shanti”, kita akan dialiri spirit kedamaian dan keharmonisan. Bagi orang Hindu, “shanti” umumnya diucapkan tiga kali dengan menambahkan kata Om (aksara suci Ida Hyang Widhi Wasa-Tuhan Yang Maha Esa) pada awal dan akhir pengucapannya, yakni “Om Shanti, Shanti, Shanti Om” yang bermakna: semoga damai di hati, di dunia dan di akhirat. Pengucapan tiga kali juga konsisten dengan konsep awal yang berbasis pada penekanan pada angka 3 (Tri).
“Shanti, Shanti, Shanti” merepresentasikan kedamaian pada bhuwana alit dan agung (diri dan seluruh semesta) yang akan menggetarkan vibrasi kesucian hingga menebarkan aura dalam yang mendamaikan dan menyeimbangkan kehidupan semua makhluk.
“Shanti, Shanti, Shanti” merepresentasikan kedamaian pada bhuwana alit dan agung (diri dan seluruh semesta) yang akan menggetarkan vibrasi kesucian hingga menebarkan aura dalam yang mendamaikan dan menyeimbangkan kehidupan semua makhluk.
Dari berbagai sumber
Logo : Ayip - Matamera Communication
Tidak ada komentar:
Posting Komentar